Rabu, 17 Juni 2020

LDR



“yang sekarang mengalami LDR, bersyukurlah, setidaknya kalian LDR hanya beda kota atau beda negara saja”

Wabah Covid 19 membuatku harus bekerja dari rumah, sementara anak-anak juga belajar di rumah. Mestinya ini menjadi berkah bagiku yang intensitas pertemuan dengan anak selama ini kurang.

Pagi ini, Hari Minggu tidak ada tugas yang menunggu. Untuk menahan anak agar tidak keluar rumah kami membuat papercraft Yamaha M1 milik Valentino Rossi. 34 lembar A4 sudah aku cetak. Urusan memotong kami kerjakan bersama, cukup bagus untuk melatih motorik halus anak. Sementara melipat dan menempel menjadi tugasku. Sembari membuat papercraft, aku mendengarkan radio BSP FM, hingga terdengar sebuah lagu yang liriknya mengingatkanku pada seseorang. Aku tidak tahu itu lagu siapa, mungkin lagu baru atau paling tidak lagu tahun 2004 ke atas, maklum sudah lama tidak update musik.

Penasaran, aku ambil HP Candybarku Andromax Prime, kucari di google dengan kata kunci aku di sini dan kau di sana hanya berjumpa via suara, ternyata lagunya RAN ini liriknya :

Dekat di Hati

Dering telfonku membuatku tersenyum di pagi hari

Kau bercerita semalam kita bertemu dalam mimpi

Entah mengapa aku merasakan hadirmu di sini

Tawa candamu menghibur saat ku sendiri

Aku di sini dan kau di sana

Hanya berjumpa via suara

Namun ku slalu menunggu

saat kita akan berjumpa

Meski kau kini jauh di sana

Kita memandang langit yang sama

Jauh di mata namun dekat di hati

Dia Rara, aku mengenalnya melalui surat pembaca di majalah Annida. Aku mengirim surat untuknya dengan alasan Rara punya perpustakaan pribadi, tentunya itu juga impianku. Yah, smalllibrary yang berarti perpustakaan kecil mulai aku rintis. Mungkin karena aku tidak terlalu percaya bahwa perpustakaan yang aku rintis akan menjadi besar, atau justru aku berpikiran bahwa sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil terlebih dahulu. Barangkali dengan menjalin persahabatan dengan Rara bisa memecahkan permasalahan yang mungkin muncul dalam pengelolaan perpustakaan tersebut.

Beberapa bulan tidak ada balasan sampai aku lupa pernah berkirim surat untuknya. Hingga satu sms masuk dari adiknya, ia menjelaskan bahwa Rara sudah bekerja di Bintan Kepulauan Riau sehingga tidak sempat membalas suratku. Aku merasa dekat dengan keluarganya, ibunya dan kedua adiknya meski via aksara dan suara, ayahnya sudah tiada. Sementara Rara, belum ada kabar apapun. Pada Bulan Agustus 2007, pertama kali Rara menelfonku. Suaranya lembut, sumringah, menyenangkan. Hari-hari berikutnya, hampir tiap dini hari Hpku berbunyi. Maklum seringnya ia bekerja shift malam, dan waktu istirahatnya digunakan untuk menelfonku, sekedar say hello atau bercerita panjang lebar. Ada saja cerita yang ia suguhkan, tentang dirinya, keluarganya, teman-temannya, bahkan kekasihnya. Aku tak terganggu sedikitpun, malah aku yang merasa terhibur dalam kesendirianku. Aku heran mengapa bisa berbincang senyaman ini, meski aku tak yakin bila bertemu nanti rasanya akan sama.

Ternyata benar, Januari 2009 di lereng Sindoro kami bertemu, tapi endingnya tidak sama dengan lagu. Aku tak pandai merangkai kata. Diam. Tenggelam dalam abstraksi yang kuciptakan. Mungkin, Rarapun demikian. Aku tak berani memimpikan yang lebih jauh lagi. Ah, wanita membuatku terlena meski aku tak sepenuhnya memuja, wanita hadirkan rindu meski pertemuan membuatku jenuh.

Barangkali aku salah menyimpulkan atas kediaman Rara. Mungkin kepekaanku saja yang terlalu tinggi, padahal aku telah berusaha menekan kepekaan ini, atau justru aku yang tak punya kepekaan sedikitpun. Kami tidak hanya LDR beda kota, tapi beda hati juga. Ada yang hilang dari perasaanku/yang terlanjur sudah ku berikan padamu// suara Ipang mengalun. Menghentikan nostalgiaku. Aku tak kehilangan apapun. Meskipun hubunganku tidak seperti dulu lagi, ternyata Rara punya rencana lain. Aku tahu dari ibunya. Bagaimana kalau aku dijodohkan dengan teman terbaik Rara katanya.

Rara memang baik hati. Ia telah memilihkan untukku teman terbaiknya. Bidadari dari kaki Gunung Tidar, yang sekarang menjadi istriku, ibu dari kedua anakku.

Tentang istriku, tidak saya ceritakan di sini. Kalau mau dengar ceritanya mampir saja di smalllibrary yang kini telah kuubah namanya menjadi cafebook; bukunya sih sudah ada, cafenya yang belum punya. Tapi tenang saja, saya masih punya secuil kopi papua dan beberapa potong singkong untuk teman nongkrong. Eh, inikan musim corona. Lain kali saja nongkrongnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...