Sabtu, 23 Januari 2010

MALAM PERTAMA

MALAM PERTAMA

Setahun sudah aku menunggunya. Lamaran tahun lalu belum sepenuhnya diterima. Saya bilang belum diterima karena memang tidak ada kata penolakan. Jadi selama setahun itu saya merasa sedang melewati sebuah titian yang tak berujung, menanti kepastian yang tak kunjung datang.
Sebetulnya aku tidak terlalu percaya diri untuk melamarnya. Apa sih yang diharapkan dari seorang pengangguran seperti saya. Yang meninggalkan amanah karena tuntutan kerja. Ya aku meninggalkan organisasi yang aku tekuni dari kelas 2 SMP. Waktu kelas 3 SMA aku terpilih sebagai ketua. Periodeku 2 tahun lamanya, tapi selepas lulus aku merantau ke Jakarta.
Di mana-mana orang yang tidak bekerja seperti tak ada nilainya. Bersyukurlah bagi siapapun yang sudah bekerja, sesusah apapun, sekecil apapun bayarannya, setidaknya masih lebih baik dari seorang tuna karya. Maka, meski tanpa pengalaman aku mengadu nasib ke Ibu Kota. Biarlah jadi tukang cuci piring, dari pada tukang cuci uang. Aku bayangkan hari-hari yang menyenangkan di sebuah restoran. Tapi bayangan tetap saja bayangan, tetap hitam tanpa wujud yang nyata. Di sanapun tetap saja menganggur. Bukan karena restorannya tidak rame, tapi lebih parah lagi. Restoran yang dijanjikan tidak benar- benar ada. Percuma kalau putus asa, apa saja kulakukan untuk bertahan hidup disana. Sudah 3 hari belum dapat kerja sementara saku dari rumah kian menipis. Singkatnya, aku dapat kerja di konveksi milik orang cina pada hari ke-4, tapi pagi harinya langsung dipecat. Semena-mena, menjadi raja di negara saya. Memangnya punya hak apa dia di Indonesia? Tapi ya sudahlah, saya malah bersyukur bias lepas dari sana. Buat apa di terus-teruskan kalau malah membuat sengsara, sehari saja tidak bisa apa-apa selain membersihkan benang dan melipat kaos lalu memasukkannya kedalam bungkus. Masih untung sehari semalam dibayar sepuluh ribu rupiah.
Hari berikutnya aku terdampar dalam dunia warna-warni, duniaku dulu. Memang tempatnya tidak terlalu bersih, tapi bagiku permasalahannya bukan pada tempat tapi suasana. Dinding yang penuh cat, gambar, tulisan, membuatku memutuskan untuk tinggal di situ. Ya di sebuah sablon kain. Tempat produksi kaos bermerk dan daster ekspor ke timur tengah. Dilihat dari ukurannya saja sudah kentara, bila dibentangkan setinggi saya 163 cm ditambah bentangan tanganku ke atas, yah hamper dua meteran. Tapi toh bayaranya tak seberapa. Per hari cuma dua belas ribu rupiah. Bisa di bayangkan nilai uang segitu di ibu kota. Maka demi menekan pengeluaran tiap hari makan 2 kali. Pagi dan malam hari. Sementara siangnya cukup sepotong roti. Tapi aku merasa senang, meskipun tiap malam mesti dilangkahi werog (tikus besar:sebesar kelinci kaleee). Warna-warni yang membuatku betah disitu. Meskipun sama-sama bekerja pada orang cina, tapi koh asiong lebih perhatian dibanding bos konfeksi yang dulu. Bekerja disini aku jadi lebih berotot, kalau produksi kaos mesti angkat-angkat triplek tiap hari. Kalau yang diproduksi daster, mesti loncat-loncat naik ke atas meja untuk jemur dasternya, yah jadi mirip-mirip tobey meguire gitu deh.. itu loh pemeran spiderman wkwkkkkkk :-D . Tapi saying….kerja disana hanya berlangsung lima bulan. Selepas pasar tanah abang kebakaran kami dipulangkan.
Di rumah kembali seperti dulu lagi. Nganggur, atau paling-paling ke sawah, sekedar panen kacang, ketimun, atau menyemprot tanaman itu. Kegiatan rutin yang harus ku jalani tiap harinya tanpa mendapat sepeserpun dari hasil panen. Tapi aku masih bias mencukupi kebutuhanku kalau ada pesanan dekorasi. Hasilnya pun bias kunikmati berhari-hari, bahkan untuk menambah modal hingga sedikit demi sedikit usaha dekorasiku semakin berkembang. Kesibukan masih terbagi antara sawah dan dekorasi. Sampai-sampai aku lupa pada lamaran tahun lalu.
Ya hari ini lamaranku dipertanyakan lagi. Masihkah aku punya niat untuk melamarnya? Aku mulai bimbang, jangan-jangan seperti tahun kemarin, tak ada keputusan, menggantung selama setahun. Haruskah aku melamarnya lagi? dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya kembali mengajukan lamaran, hasilnya……..DITERIMA.
Pada malam pertama lamaran saya diterima, kembali saya berpikir apakah saya sudah siap dipanggil bapak oleh anak-anakku nanti? Bukan anak dari istri, tapi dari orang tua wali. Ya karena saya melamar sebagai guru di SD Muhammadiyah Wonosari.

Lebih banyak cerita di jendelakamarkita.blogspot.com

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...