Rabu, 25 Oktober 2023

DEWI KUNTI _ WELAS ASIH

Saya tidak suka menonton pagelaran wayang, tapi saya sangat tertarik dengan cerita dan segala filosofi di dalamnya. Maka ketika di Wisma Rarasati saya melihat sebuah buku tentang wayang yang ditulis oleh Ki Dalang Subur Widadi ayahanda Bu Welas Rarasati, langsung saya baca. Pada salah satu sequelnya ditulis tentang Dewi Kunti.

Dewi Kunti adalah ibu dari 3 orang pandawa, Yudhistira, Werkudara, dan Arjuna. Nakula dan Sadewa lahir dari rahim Dewi Madrim. Meskipun Nakula dan Sadewa bukan anak kandung Dewi Kunti, Dewi Kunti mengasihinya melebihi cinta kasihnya kepada putranya sendiri.

Suatu ketika, Nakula dan Sadewa kelaparan. Tidak ada makanan. Maka Dewi Kunti menyuruh kedua putranya Werkudara dan Arjuna mencari makanan untuk adiknya.

Arjuna kembali lebih dahulu membawa dua bungkus nasi rames dan menyerahkan kepada ibunya. Sebelum disuapkan kepada Nakula dan Sadewa, Dewi Kunti bertanya asal-usul nasi rames tersebut. Arjuna menceritakan bahwa nasi tersebut pemberian dari Kepala Desa Kedungwuluh karena merasa kasihan dengan Nakula dan Sadewa. Dewi Kunti menolaknya. Ia tidak mau memberi makanan kepada Nakula dan Sadewa atas dasar belas kasihan seseorang.

Werkudara datang terlambat karena harus membereskan dua raksasa di Cilacap. Membawa dua bungkus nasi padang untuk Nakula dan Sadewa. Tidak lupa Dewi Kunti menanyakan asal usul nasi tersebut. Werkudara menceritakan hal ihwal dua bungkus nasi padang yang ada pada genggamannya. Nasi tersebut adalah pemberian dari Bupati Cilacap sebagai hadiah karena Werkudara berhasil menumpas dua raksasa. Sang Bupati menawarkan putrinya yang bernama Teh Ikah sebagai hadiah, namun Werkudara menolak. Ia hanya minta dua bungkus nasi padang saja untuk makan siang kedua adiknya.

Dewi Kunti menerima nasi padang yang dibawa Werkudara, kemudian memberi nasihat kepada para putranya bahwa kita semua harus bekerja keras, jangan menggantungkan belas kasih orang lain dengan cara meminta-minta.

Belajar juga dari keluarga FKKS SD/MIM Jawa Tengah ketika Rapat Kerja di Wisma Rarasati, Banyumas. Kita membawa makanan khas daerahnya masing-masing, saling memberi. Bukan karena rasa kasihan, tapi memang karena rasa welas asih yang telah mendarah daging. Dudu sanak, dudu sedulur nanging bisa semanak semedulur.

Cerita ini sebagian fiktif belaka, kalau ada kesamaan nama dan tempat, anggap saja disengaja.

BERENDAM SAMBIL KULIAH

Pagi yang dingin mengajakku menarik selimut kembali, menawarkan kehangatan di baliknya. Namun hangat mentari dan aroma laut mampu membujukku untuk menyisirnya. Pendirianku goyah ketika melihat Tadz Indra Principal Maharaja sedang asyik masyuk berenang keliling kolam. Maka saya putuskan berenang saja. Pakaian basah kemarin sore yang saya tiriskan di balkon, saya pakai kembali. Berjalan santai menuruni anak tangga dari lantai tiga sebagai pemanasan agar tidak terjadi cedera. Saya tidak bawa handuk saat itu. Catat ya, tidak bawa handuk. Jadi kalau nanti ada yang kehilangan handuk dengan asumsi ketinggalan di kolam, itu bukan saya.

Sampai di bibir kolam, saya melakukan pemanasan lagi. Peregangan mulai kepala, pundak, lutut, kaki. Kepala, pundak, lutut, kaki. Kepala, pundak, kepala, pundak, kepala, kepala, kepala. Kepala saja terus yang piknik, gurunya gak pernah diajak. Sebelum nyemplung ke kolam secara kaffah, usahakan kaki terlebih dahulu masuk ke air. Ini penting dilakukan karena menurut hasil survey di 138 negara, 9 dari 10 perenang yang mendahulukan kepala masuk kolam, terjadi cedera ; minimal benjol. Selain daripada itu, mendahulukan anggota tubuh bagian bawah ketika berenang memastikan tubuh tidak kaget ketika terjadi perubahan suhu. Konon kabarnya mandi yang diawali dengan menyiram kepala terlebih dahulu, rentan terkena masuk angin.

Sambil kungkum, Tadz Indra mulai bercerita. Dulu, sebelum perut segede blebedan sarung, renang muter kolam 10 kalipun terasa ringan. Sampai suatu ketika, berenang diiringi manula yang sedang jalan santai di tepi kolam, Tadz Indra berusaha mendahului namun terkejar. Lagi, dan lagi. Hingga memutuskan untuk mengikuti manula tersebut, dengan berenang santai. Tanpa terasa, lebih dari dua puluh putaran. Niat untuk mendahului atau merasa hebat sendirian ternyata salah. Mungkin kita kuat, tetapi kekuatan bisa dikalahkan oleh konsistensi. Dan bergabung dengan orang-orang hebat, salah satu cara untuk menjaga konsistensi tersebut.

Cerita Tadz Indra tersebut mengingatkanku pada dua orang penebang kayu. Seorang pemuda yang gagah dan kuat serta orang tua yang terlihat lemah. Satu, dua pohon telah ditebang oleh seorang pemuda. Sementara orang tua belum menyelesaikan satu pohonpun. Seorang pemuda menebang terus tanpa lelah. Sementara orang tua mengasah kapaknya setiap kali berhasil menebang satu pohon. Di akhir cerita, hasilnya tidak jauh berbeda. Seorang pemuda heran padahal telah mengerahkan seluruh tenaga tanpa istirahat, sementara orang tua selalu istirahat setelah selesai menebang satu pohon. Orangtuapun berkata, “Kamu melupakan satu hal anak muda, kapan terakhir kali kamu mengasah kapakmu? Sementara saya selalu mengasah kapak setiap kali istirahat”. Barangkali kegiatan kita kali ini seumpama istirahat sambil mengasah kapak. Serius atau santai di FKKS seperti tidak ada bedanya. Rapat yang serius bisa saja sambil guyonan dan kungkum santai membicarakan hal yang serius.

Pangandaran, 29 November 2022

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...