Rabu, 15 September 2010

KEZALIMAN DI BATAS KELAZIMAN

KEZALIMAN DIBATAS KELAZIMAN
“benar atau salah bukanlah sebuah ukuran untuk menilai perbuatan seseorang,
karena rupa-rupanya kebenaran yang terjadi saat ini hanya sebatas kelaziman semata.
Salah kaprah,bener ora lumrah”

Menjadi sebuah kelaziman, bila suatu Negara mempunyai dasar Negara. Indonesia misalnya, Negara kita yang subur, makmur, mempunyai belasan ribu pulau dan laut yang terbentang begitu luas dengan segala sumber dayanya, sungguh dapat dikatakan sebagai Negara yang gemah ripah lohjinawi tata tentrem kerta raharja. Namun sudahkah kita nikmati? Yah barang kali hanya sebagian kecil orang saja yang menikmatinya karena justru dari sebagian kecil tersebut mengambil bagian yang sepenuhnya besar yang menyebabkan sebagian besar lainnya tidak kebagian.

Tulisan ini bukan untuk mengadili orang demi orang, tapi coba kita renungkan, adakah nama kita tercatat didalamnya. Di dalam sebuah kotak kezaliman. Zalim pada diri sendiri, orang lain dan melazimkan kezaliman itu sendiri sebagai sebuah hak asasi.

Kita terlalu mengagungkan hak asasi tanpa dasar. Sadar atau tidak, dasar Negara kita yang tiap senin pagi kita tirukan dalam upacara bendera, tak pernah membekas. Hanya sebagai pajangan di depan kelas diapit dua gambar orang terdepan di Negara kita, presiden dan wakil presiden.

Betulkah tuhan kita benar-benar Esa? Tuhan yang patut disembah tiada duanya. Seberapa besar kepercayaan kita kepada tuhan yang maha Esa?. Saya yakin, dan berani menjamin bahwa sebagian besar WNI (Warga Negara Indonesia) percaya bahwa tuhan itu satu. Cukupkah dengan satu tuhan saja?

Mungkin sudah menjadi sifat dasar manusia yaitu serakah, hingga tuhanpun tak cukup satu rupanya. Kita ciptakan tuhan-tuhan lain; kekuasaan, uang, dan segala kenikmatan duniawi yang tanpa disadari justru menjebak kita sendiri : semakin jauh dari tuhan. Atau, dengan ke-Esa-anNya manusia menganggap tuhan tak mampu mengawasinya, sehingga kita berbuat semaunya, menyebar kezaliman-kezaliman sampai batas kelaziman.
Dengan demikian, dimana letak keadilan? Dimana peradaban manusia sebagai makhluk yang paling sempurna?

Bila keadilan di Negara kita mulai sirna sanggupkah penduduk dari belasan ribu pulau bertahan dalam NKRI? Cukup timor timur saja yang lepas. Kuharap Indonesia masih terus bernafas melanjutkan usianya yang masih muda untuk ukuran sebuah Negara.

Demokrasi macam apakah yang terjadi di Negaraku bila kebanyakan wakil kita hanya tergabung dalam paduan suara lagu setuju, “ah itu kan dulu. Sekarang malah lebih seru tak cukup dengan setuju, kalau perlu sekalian adu tinju”. Atau kita yang kecanduan demokrasi jalan raya yang pada akhirnya berujung korban jiwa. “Jangan terlalu menyalahkan pemerintah toh mereka pilihan kita”. Model pilihan langsung untuk menghindari pilih kucing dalam karung semakin membuat kita bingung, pinginnya pilih semua apa lagi yang ada hadiahnya seperti kecederungan masyarakat kita yang senang dengan iklan, undian, dan belanja di swalayan. Paling-paling kalo kecapean baru komentar kenapa susah-susah pilih sendiri kalau ujungnya sama saja, semua pemimpin bijaksana. Ah kata siapa? Bijaksana kata mereka yang berkepentingan di sana.

Akhirnya kita berharap adanya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi masih saja dikejutkan oleh berita-berita di koran, radio dan televisi. Lagi-lagi korupsi. Dengan mudah pelakunya dapat remisi. Sedangkan rakyat pencari (bukan pencuri) cokelat, randu dan semangka entah divonis berapa tahun penjara. Adilkah Negara kita?

Saya kok jadi menghayal kalau-kalau para koruptor sadar menonton berita, rakyat saja dengan kesalahan kecil pasrah divonis berapapun lamanya tanpa menyewa pengacara. Kenapa yang sudah jelas-jelas korupsi justru berbalik mengajukan somasi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Gila, bener-bener gila, siapa yang harus dibela?

Tentunya kita harus membela diri kita, jangan sampai ikut-ikutan melazimkan kezaliman, menyianyiakan waktu yang diberikan tuhan. Masih ada waktu untuk berubah, mari kita cegah kezaliman jangan sampai melampaui batas kelaziman; dengan tangan dan lisan. Kalaupun tak mampu, cukup dengan hati saja bagi yang lemah imannya. Doakan mereka, tak perlu dikoreksi kalau hati mereka telah mati. Tetap jalankan misi kita, sebagai generasi masa depan yang akan teruskan cita-cita mereka.
Indonesia Raya…Merdeka Merdeka tanahku negeriku yang kucinta. Indonesia raya merdeka-merdeka hiduplah Indonesia raya.

Indonesia Raya, 17 Agustus 2010

NB : 65 tahun Indonesiaku, benarkah sudah berubah? Atau bertambah parah. Semoga keduanya salah, karena Negara kita tidak berubah, masih tetap gemah ripah, penduduknya ramah-ramah ketika ada masalah selalu diselesaikan dengan musyawarah. Terlebih masalah dengan Negara asing, kita seperti macan yang kehilangan taring. Tapi anehnya ketika berhadapan dengan pedagang kaki lima mendadak berubah menjadi singa.

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...