Selasa, 29 Desember 2015

SANG SURYA

SANG SURYA
“Menyinari dunia tanpa minta balas jasa”
Aku hanyalah seorang anak kecil. Sekarang berhadapan dengan banyak anak kecil. Mereka murid baruku di kelas III. Pada hari Sabtu, 4 Agustus 2004 Kepala sekolah mengantarku ke kelas, memperkenalkanku sekilas, lalu menyerahkan kelas itu kepadaku. 32 anak,  lebih dari tiga kali lipat ketika aku kelas VI SD, pikirku apakah aku mampu mengendalikan mereka, sementara 10 siswa saja pada masaku gaduhnya luar biasa.
Pelajaran pertama matematika, tak ada yang bersuara, haa bingung akupun bingung menuliskan cerita kebingunganku pada saat itu.
Besoknya olah raga, karena belum ada guru olahraga, jadi guru kelasnya masing-masing yang mengajar. Padahal aku paling tidak suka. Anak-anak sudah mulai mengenalku, mereka tanpa ragu mengajakku bermain kasti. Giliranku memukul, stikku malah mengenai anak yang jaga di belakang Akhsanul Fikri namanya. Dia nangis, guling-guling ahhh kesalahan pertama. Selepas itu kepala sekolah menasehatiku karena aku mengajar pakai celana doreng dan kaos oblong US Marine warna hijau army.
Hari-hari  berikutnya tampaklah sifat asli mereka, seringkali aku salah sebut nama karena kecenderunganku mengenal seseorang melalui sepatunya (maklum ghadul bashar,hehe..) tapi sepatu anak jaman sekarang kan gonta-ganti, tidak seperti jamanku dulu yang pakai sandal jepit kala musim hujan. Maka aku mulai mengubah cara mengenal mereka dengan menyamakan wajah mereka dengan orang-orang yang aku kenal.
Sebelum menceritakan lebih jauh tentang mereka, ada baiknya saya absen murid saya satu per satu
1.       Musaini
2.       Sapii Turahharjo
3.       Sofiyanto
4.       Eka Sari Khasanah
5.       Khoirul Anas
6.       Wahyu Andi Wijaya
7.       Akhsanul Fikri
8.       Ainun Ma’ruf
9.       Bintari Astuti
10.   Devi Herawati
11.   Dzikrul Ghofilin
12.   Eka Oktaviana
13.   Femina Putri Meetaliasari
14.   Imawati
15.   Khusnul Fitriani
16.   Laela Komariyah
17.   Maulana Aditya
18.   M. Ibnu Dzaki
19.   M. Sholeh
20.   M. Ismail Yusuf
21.   Nahida
22.   Nur Khatun Khasanah
23.   Rezky Ikhwan
24.    Siti Wulandari
25.    Sri Hartati
26.    Tri Buana Tungga Dewi
27.   Tyas Eko Widiyantoro
28.   Vina Handayani
29.   Wahyuni Ismiani
30.   Widya Sasi Karani
31.   Yonda Dwi Maulana
32.   Dedi Surya Winata

Suatu ketika, pelajaran olah raga saya awali dengan pemanasan lari-lari kecil keliling kampung, ada salah seorang warga yang nyeletuk, “Itu kelas berapa kok besar sendiri?” Kebetulan Musaini, anak paling tinggi dan besar, bahkan tingginya hampir menyamaiku, tidak masuk kelas, sehingga Saya yakin celetukan itu karena melihatku. Lantas dijawab “itu kan gurunya”, “Lah, kok kecil banget!”. Dalam hati saya tersenyum, memang begitulah orang tua, tidak pernah konsisten dengan pendapatnya sendiri. Seringkali orang tua membangunkan anak dengan berkata sudah siang, ketika anak sudah bangun kemudian minta es, dikatakan masih pagi gak boleh minum es. Barangkali pendidikan kejujuran memang harus ditanamkan sejak dini tanpa melihat situasi dan kondisi. Tidak ada istilah bohong itu baik, berbohong demi kebaikan, dan istilah lain yang serupa. Bagiku bohong tetap saja bohong dan termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Menurutku daripada berbohong lebih baik mengalihkan perhatian anak seperti dalam kasus tadi, misalnya dengan menawarkan the hangat atau susu kental manis. Upps! Terlalu melebar ya pembicaraannya.


BERSAMBUNG……………

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...