Kamis, 18 Juni 2020

PEMBANGUNAN MASJID AL-HUDA


s320/alhuda.jpg" width="283" height="320" data-original-width="640" data-original-height="724" />

BINTANG TANPA GELAP


Gelap bukanlah yang dibutuhkan bintang
Memang dengan gelap bintang lebih cemerlang
Barang kali bumilah yang ia butuhkan
Keberanian untuk jatuh membuatnya semakin terang
Meskipun tanpa gelap

Namun aku tak ingin kau jatuh
Tetaplah bersama angkasamu meski jauh

BINTANG TANPA LANGIT


Apa kau merasa sepi
Kurasa tidak
Bahkan disekelilingmu riuh riang anak
Apa kau lelah
Tidak juga
Bintang-bintang kecilmu kulihat selalu ceria
Mungkinkah ada yang hilang darimu
Langit-langitmu
Langitmu
Atau angkasa raya

Memang kau tak pernah bicara
Tapi aksara yang kau tulis dibaca dunia

Rabu, 17 Juni 2020

BONGGAN GELEM DADI UWONG


Sebetulnya saya bukanlah manusia. Saya seekor kera yang berevolusi menjadi manusia. Tidak usah mendebat teori Darwin, barang kali yang diteliti oleh Darwin memang keturunan saya, bukan keturunan Nabi Adam.

Ceritanya begini, di komunitas hewan ada Singa Sang Raja Hutan, Gajah Sang Patih, Kera sang Prajurit, dan hewan-hewan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Saya termasuk prajurit yang ngeyelan, setiap kebijakan Sang Raja Hutan yang tidak berperi kehewanan pasti saya lawan. Tentu tidak dengan tangan saya, dilihat secara kasat mata jelas saya kalah. Kengeyelan saya membuat Sang Raja Hutan gerah. Padahal saya menyuarakan keberatan hewan lain, mengapa hewan harus makan hewan. Karena itulah saya diusir dari dunia fauna dan sekarang menetap di dunia fana sebagai manusia.

Tidak mudah menjadi seorang manusia, saya harus belajar berjalan tegak. Sayapun harus merelakan ekor belakang saya, sementara ekor yang lain saya sisakan untuk menyambung generasi. Dalam hal makan, saya masih mengandalkan berburu dan meramu, tentu saya tidak berburu hewan lain karena saya masih berperi kehewanan. Saya tidak bisa lagi seenaknya mengambil makanan dari pohon lain yang tidak saya tanam. Saya mesti bersabar menanam, menuai, dan apabila lahan yang saya tanami berkurang kesuburannya saya mesti berpindah tempat. Hingga akhirnya saya terdampar pada zaman ini, yang untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak hanya mengandalkan makanan. Mesti punya pakaian dan tempat tinggal. Bahkan untuk mendapatkan semua itu bisa hanya dengan menukar lembaran kertas yang mereka sebut uang.

Uang, benda ajaib yang bisa mengubah apapun. Jelek jadi cantik, klasik jadi menarik, fakir jadi tajir, Bahkan kalau punya uang yang banyak, mudah saja menjadi seorang pemimpin selama menggunakan pemilihan langsung. Mengapa? Karena yang dibutuhkan pemilih adalah uangnya, bukan yang dipilihnya. Bisa saja kemiskinan memang diciptakan agar manusia mudah dikendalikan dengan uang. Maka jangan coba-coba yang miskin menulari yang kaya. Kalau yang kaya ketularan miskin siapa yang mau berderma?

Tidak mudah hidup sebagai seorang manusia, awalnya saya mengira bahwa manusia yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, baik fisik maupun psikis mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa ternyata sama saja. Ada yang memang bijaksana dan ada juga yang hanya bijak di sana, di sini tidak. Tapi begitulah Sang Pencipta, seadil-adilnya pemberi keadilan. Belum tentu yang adil di mata manusia ternyata tidak menurut Sang Pencipta.

Maka saya bertekad kembali menjadi kera, membawa ilmu manusia dan akan saya kembangkan di dunia satwa. Saya bercerita tentang suksesi kepemimpinan. Pemimpin tidak diwariskan tapi diciptakan. Biarkan mereka memilih pemimpinnya sendiri sesuai hati nurani. Aku kampayekan sekaligus mohon doa restu untuk mencalonkan diri, namun ternyata jawaban mereka mayoritas sama, berani bayar berapa?.

KHITBAH


Aku berkunjung ke suatu tempat
bersama empat orang sahabat dan seseorang yang tak perlu umpama.
Niat utama silaturrahmi ke rumah bintangku dulu
Aku agak lupa tempatnya Hingga ku putuskan mampir di warung siomay
Sembari kirim WA kepada bintangku Gang 8 sebelah mushola
Bukan
Seberang jalan sebelah TPA
Ku temui juga alamat lengkapnya
Sebelum beranjak dari warung siomay
Seseorang yang tak perlu umpama memesan tiga butir kelapa
Untuk kolak nanti sore menu berbuka
Sampai juga di rumah bintangku
Aku ragu
Kenapa ramai seperti ada acara khusus
Aku dipandu masuk
Seorang lelaki berkata
Ia tidak akan melangkah
Maksudnya
Menuju kamu
Aku tak paham
Kulihat sekelilingnya
Semua hidangan tersaji lengkap
Begitupun para sesepuh
Ini acara apa
Apakah lamaran
Siapa untuk siapa
Bukankah bintang telah menemukan langitnya
Dan gelap telah bersama seseorang yang tanpa umpama
Aku menoleh

Dimanakah empat sahabatku
Dan seseorang yang tak perlu umpama
Aku datang bersama mereka
Tiba-tiba entah kemana

LDR



“yang sekarang mengalami LDR, bersyukurlah, setidaknya kalian LDR hanya beda kota atau beda negara saja”

Wabah Covid 19 membuatku harus bekerja dari rumah, sementara anak-anak juga belajar di rumah. Mestinya ini menjadi berkah bagiku yang intensitas pertemuan dengan anak selama ini kurang.

Pagi ini, Hari Minggu tidak ada tugas yang menunggu. Untuk menahan anak agar tidak keluar rumah kami membuat papercraft Yamaha M1 milik Valentino Rossi. 34 lembar A4 sudah aku cetak. Urusan memotong kami kerjakan bersama, cukup bagus untuk melatih motorik halus anak. Sementara melipat dan menempel menjadi tugasku. Sembari membuat papercraft, aku mendengarkan radio BSP FM, hingga terdengar sebuah lagu yang liriknya mengingatkanku pada seseorang. Aku tidak tahu itu lagu siapa, mungkin lagu baru atau paling tidak lagu tahun 2004 ke atas, maklum sudah lama tidak update musik.

Penasaran, aku ambil HP Candybarku Andromax Prime, kucari di google dengan kata kunci aku di sini dan kau di sana hanya berjumpa via suara, ternyata lagunya RAN ini liriknya :

Dekat di Hati

Dering telfonku membuatku tersenyum di pagi hari

Kau bercerita semalam kita bertemu dalam mimpi

Entah mengapa aku merasakan hadirmu di sini

Tawa candamu menghibur saat ku sendiri

Aku di sini dan kau di sana

Hanya berjumpa via suara

Namun ku slalu menunggu

saat kita akan berjumpa

Meski kau kini jauh di sana

Kita memandang langit yang sama

Jauh di mata namun dekat di hati

Dia Rara, aku mengenalnya melalui surat pembaca di majalah Annida. Aku mengirim surat untuknya dengan alasan Rara punya perpustakaan pribadi, tentunya itu juga impianku. Yah, smalllibrary yang berarti perpustakaan kecil mulai aku rintis. Mungkin karena aku tidak terlalu percaya bahwa perpustakaan yang aku rintis akan menjadi besar, atau justru aku berpikiran bahwa sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil terlebih dahulu. Barangkali dengan menjalin persahabatan dengan Rara bisa memecahkan permasalahan yang mungkin muncul dalam pengelolaan perpustakaan tersebut.

Beberapa bulan tidak ada balasan sampai aku lupa pernah berkirim surat untuknya. Hingga satu sms masuk dari adiknya, ia menjelaskan bahwa Rara sudah bekerja di Bintan Kepulauan Riau sehingga tidak sempat membalas suratku. Aku merasa dekat dengan keluarganya, ibunya dan kedua adiknya meski via aksara dan suara, ayahnya sudah tiada. Sementara Rara, belum ada kabar apapun. Pada Bulan Agustus 2007, pertama kali Rara menelfonku. Suaranya lembut, sumringah, menyenangkan. Hari-hari berikutnya, hampir tiap dini hari Hpku berbunyi. Maklum seringnya ia bekerja shift malam, dan waktu istirahatnya digunakan untuk menelfonku, sekedar say hello atau bercerita panjang lebar. Ada saja cerita yang ia suguhkan, tentang dirinya, keluarganya, teman-temannya, bahkan kekasihnya. Aku tak terganggu sedikitpun, malah aku yang merasa terhibur dalam kesendirianku. Aku heran mengapa bisa berbincang senyaman ini, meski aku tak yakin bila bertemu nanti rasanya akan sama.

Ternyata benar, Januari 2009 di lereng Sindoro kami bertemu, tapi endingnya tidak sama dengan lagu. Aku tak pandai merangkai kata. Diam. Tenggelam dalam abstraksi yang kuciptakan. Mungkin, Rarapun demikian. Aku tak berani memimpikan yang lebih jauh lagi. Ah, wanita membuatku terlena meski aku tak sepenuhnya memuja, wanita hadirkan rindu meski pertemuan membuatku jenuh.

Barangkali aku salah menyimpulkan atas kediaman Rara. Mungkin kepekaanku saja yang terlalu tinggi, padahal aku telah berusaha menekan kepekaan ini, atau justru aku yang tak punya kepekaan sedikitpun. Kami tidak hanya LDR beda kota, tapi beda hati juga. Ada yang hilang dari perasaanku/yang terlanjur sudah ku berikan padamu// suara Ipang mengalun. Menghentikan nostalgiaku. Aku tak kehilangan apapun. Meskipun hubunganku tidak seperti dulu lagi, ternyata Rara punya rencana lain. Aku tahu dari ibunya. Bagaimana kalau aku dijodohkan dengan teman terbaik Rara katanya.

Rara memang baik hati. Ia telah memilihkan untukku teman terbaiknya. Bidadari dari kaki Gunung Tidar, yang sekarang menjadi istriku, ibu dari kedua anakku.

Tentang istriku, tidak saya ceritakan di sini. Kalau mau dengar ceritanya mampir saja di smalllibrary yang kini telah kuubah namanya menjadi cafebook; bukunya sih sudah ada, cafenya yang belum punya. Tapi tenang saja, saya masih punya secuil kopi papua dan beberapa potong singkong untuk teman nongkrong. Eh, inikan musim corona. Lain kali saja nongkrongnya.

ALYA


Tiba-tiba kita mengeja peta

Entah untuk apa

Mau kemana


Kau mengajakku

Mengarungi samudera biru

Tak perlu Al, tak perlu

Karena tak ada dua kapal berlayar

dengan satu nahkoda

atau justru kau tawarkan dirimu

untuk bergabung di kapalku

jangan Al, jangan

lagipula bukankah ada yang mengajakmu bersama

maka terima saja, kita berlayar dengan kapal masing-masing

ah… khayalanku saja yang terlalu tinggi

ini cuma mimpi di ujung dini hari

24 Juli 2017

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...