Senin, 08 Februari 2021

MASJID AL-HUDA GUMELAR KUTOSARI DORO KABUPATEN PEKALONGAN


Terima kasih atas infak yang telah anda berikan untuk pembangunan Masjid Al-Huda Gumelar Kutosari Doro Kabupaten Pekalongan. Sampai saat ini, dana yang telah terkumpul Rp 853.161.000,00 (Delapan ratus lima puluh tiga juta seratus enampuluh satu ribu rupiah). 

Bantuan bisa disalurkan melalui BRI No. Rekening 3691-01-038160-53-7 atas nama Panitia Pembangunan Masjid Al-Huda atau Bank BCA No. Rekening 2500254737 atas nama Jamaludin. 

Narahubung : 

Ketua Tarsono (085801234729)

Sekretaris Felik Ridiansyah (085865213646) 

Bendahara Jamaludin Hadi Laksana (085838956414)

Minggu, 07 Februari 2021

el

 

mencoba gambar diri pakai excel

HARI KEMENANGAN

 

Untuk siapakah hari kemenangan ini

Untukku yang tercipta dari tanah

Atau untukku yang tercipta dari api

Atau gabungan keduanya

Batu bata

 

Aku bangga dengan ibadah yang ku lakukan

Seolah-olah aku yang paling taat diantara yang lain

Akulah makhluk paling sempurna

Tak takut selainNya

 

Sombong

Itu mungkin sifatku yang tercipta dari api

Bahkan ketika dibelenggu

Aku masih bisa sepongah ini

 

Barangkali tanah dan api dalam tubuhku

Telah menyatu

Keras

Kepala

Selaksa batu bata

 

1 Syawal 1441 H. 24/05/20. 04:27

ROKOK

“Merokok bukan berarti pria sejati dan tidak merokok bukan berarti banci” 

        Aku lahir pada pertengahan tahun 80an. Ayahku perokok, begitu pula nenekku. Dua kakakku juga merokok. Maka secara tidak langsung aku sudah terkader sejak dini untuk menjadi seorang perokok. Apalagi ketika kelas 5 SD sudah mencoba menikmati rokok. Tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, karena untuk membeli rokok aku memakai uang infak ngaji. 

        Malam itu aku bolos ngaji bersama teman-teman, uang infak dikumpulkan dan dibelikan sebungkus rokok. Harga rokok pada saat itu Rp 100,00 perbatang. Kulihat teman-teman bisa menikmatinya, rokok disedot dan dihembuskan asapnya dari mulut. Kalau bisa mengeluarkan asap dari hidung sudah termasuk prestasi bagi pemula. Apalagi asapnya sampai berbentuk donat, langsung diangkat jadi master. Namun bagiku tidak. Jangankan menikmatinya, baru satu sedotan saja membuatku terbatuk-batuk. Hingga akhirnya aku dikatakan banci. 

        Aku tak mau lagi kalau diajak merokok, apalagi sampai bolos ngaji dan ngutil uang infak. Biarlah dikatakan banci oleh teman-teman. Merokok atau tidak merokok adalah hak seseorang. Namun sebisa mungkin hak yang diterima tidak mengganggu hak orang lain, seenaknya saja mengatakan orang yang tidak merokok sebagai banci. Aku tak mau menganiaya diri sendiri demi sebutan lelaki sejati. Orang yang tidak merokok juga berhak menghirup udara bersih. 

        Lulus SMA aku merantau ke Ibu Kota. Malam Minggu pertama, aku sempatkan ke pasar tumpah di bawah jembatan layang. Sekadar cari angin atau cuci mata. Tapi perasaan mataku tidak tambah bersih, karena di sepanjang jalan kulihat banyak banci yang memegang lintingan berapi dengan mulut penuh asap. Sempat terpikir, ternyata banci merokok juga. Tapi aku mencoba berbaik sangka, mungkin saja mereka memang lelaki sejati yang kebetulan sedang menyamar jadi wanita.

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...