Minggu, 01 Maret 2015

BUKAN IBU

“BUKAN IBU…”
Oleh: Abdul Sukur

Hari masih begitu pagi ketika aku pejamkan lagi mata ini, tak ada hal menarik yang bisa kuselidiki. Paling-paling sebentuk makhluk yang kusebut Rani. Ya, Beraniwati, kedengarannya aneh kan? Mungkin sang ibu memberikan nama itu agar Rani, berani menghadapi kenyataan bahwa seorang ayah yang mestinya bersama, harus musnah dihapus sejarah. Makanya ia dipanggil dengan sebutan Rani.
Dia temen sekelasku yang selalu mengganggu tidurku. Bukan apa-apa sih, gue cewek normal lagi yang mendambakan seribu pria mampir dihatiku yang seluas samudera, ceileee.
Gimana gak terganggu coba, hampir tiap malam dia selalu nginep di rumahku mengganggu jadwalku, tugas sekolah, makalah, laporan kegiatan dan seabreg tugas lain yang belum juga selesai karena kehadirannya. Rani gak banyak cerita kalau bukan aku yang mulai bertanya. Ia lebih suka nulis, entah itu puisi, cerpen, atau apapun yang bisa dijadikannya tempat curhat, makanya kadang komputerku yang dijadikan media.
Sepertinya ia tidak betah dirumah, meskipun aku tahu fasilitas yang tersedia dirumahnya lebih lengkap dari pada disini, di kamar ini. Kamar berukuran 3x3 beralas karpet plastic ber motif papan catur persis seperti lantai kamar kos-kosan. Computer Pentium 2, mousenya juga belum pakai mouse optic, itupun kalau masih waras, kadang-kadang udah ngetik banyak belum sempat nyimpen udah hang, tak ada springbed disitu, jangankan springbed ataupun ranjang, dipan saja nggak ada. Aku lebih senang tidur di kasur tanpa ranjang maupun dipan, meskipun kapuknya sudah mengeras karena jarang dijemur. Kata orang-orang sih kita aman dari godaan setan, teluh, santet, dan lain sebagainya, nyatanya aku sering bangun siang ninggalin solat subuh, apa itu bukan godaan setan namanya. Tapi bukan alasan itu mengapa aku gak pake ranjang, mungkin trauma kali ya soalnya aku pernah jatuh dari ranjang waktu kecil.
Bandingkan dengan kamar Rani, ukuran kamarnya aja seluas lapangan futsal, komputernyapun udah CENTRINO DUO, lantainya marmer motif Cleopatra warna hijau toska, springbednya dobel peer bisa buat latihan salto, penerangannya lampu kristal, mewah. Ingin rasanya bertukar raga dengannya.
Tuh kan kesiangan lagi……
***
Tanpa sengaja aku menjumpainya sedang nulis semacam puisi, kalau nggak salah demikian,

Bukan ibu…
Bila biarkan bayinya
Minum susu sapi
Karena susunya untuk suami
Atau kekasih barunya yang kesekian kali

Aku setengah terperanjat ketika membacanya, Rani yang pendiam sepertinya menyimpan dendam kepada ibunya, mungkinkah?. Hal itukah yang membuatnya tidak betah dirumah, atau sekedar tulisan sebagai bukti obsesinya menjadi penulis. Tak banyak yang bisa aku baca dari pikirannya, hehe jangankan baca pikiran orang lain, baca buku aja males. Mungkin itu suatu kelemahanku dan remaja seusiaku pada umumnya.
“Aku bosan!” tiba-tiba Rani membuka pembicaraan
“Dalam hal apa?” tanyaku
“Dalam hal apapun!” jawabnya
“Aku tak mengerti!”
“Kamu takkan pernah tahu , sebelum kamu merasakannya.”
Hanya itu, dialog pendek yang aku sendiri memang benar-benar tak mengerti “Kamu takkan pernah tahu , sebelum kamu merasakannya”, merasakan dalam hal apa, akupun tak tahu. Pikiranku mulai menerawang, mulai yakin bahwa Rani menghadapi masalah yang tidak kecil (kalau tidak mau dikatakan sebagai masalah besar)
***
Pada kesempatan berikutnya aku mengajak Rani ke pantai, sekedar refreshing atau apalah, computer aja butuh direfresh apalagi otak kita. Pantai Ujung Negara, entah mengapa dikasih nama demikian, padahal Ujung Negara Indonesia paling baratkan Sabang, Hihi jadi inget waktu SD dulu ,”Dari sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Indonesia tanah airku aku berjanji padamu, menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia” aku nyanyikan lagu itu sambil menuruni anak tangga menuju pantai, yah dengan hati yang bergemuruh tentunya. Mungkin orang lain melihatnya aneh kali ya, tapi aku tak peduli. Entahlah kenapa mesti Ujung Negara ya padahal tempatnya di Kabupaten Batang, sebelah timur Kota Pekalongan.
Sampai anak tangga terakhir aku meloncat girang persis anak TK saat pelajaran menggambar.
“Bagaimana, kamu senang?” tanyaku
“Yah, sedikit !” jawab Rani meninggikan alisnya
“Kok sedikit, kamu lihat sepasang kekasih disana? Mereka terlihat bahagia.”
“Sok tahu, bahagia tuh gak bisa diukur dengan indera”
“Kamu tuh yang sok tahu, memang siapa bilang bahagia gak bisa diukur dengan indera?”
“Aku!”
Kemudian kami berlari, diatas pasir yang terlihat putih karena serpihan kerang. Meski terasa perih di kaki tapi aku suka. Terik tak mampu menyentuh kulit karena semilir angin terasa lebih menarik, deburan ombak yang memecah karangpun terdengar bagai alunan musik, terlalu berlebihankah?. Ah….kubuang resahku pada kaki langit. Berharap semua penat tersapu gelombang lautan.


“Aku benci pada bunga dan kumbang yang bercumbu disiang hari” tiba-tiba ia berkata,
“Aku benci pada sesaji yang tersaji” imbuhnya
“Kenapa tidak disajikan kepadaku saja? ” haha…aku menambahkan
“Maunya”
“Kamu tahu kegelisahanku saat ini?” katanya sembari melepas lelah
“Hemm…hem!”jawabku sambil menggeleng
“Tentang ibu?” aku coba menerka
“Salah satunya, tapi aku lebih suka bila tidak membicarakan tentang keluarga di tempat seperti ini.”
“Lantas?”
“Lihatlah!” katanya sambil menunjuk sesaji yang berisi nasi kuning berbentuk kerucut, ayam panggang, kopi pahit, sebungkus rokok Praoe Lajar dan kembang tujuh rupa “Apa maksud semua itu?”
“Setahuku sih sedekah bumi!”
“Sedekah bumi maupun sedekah laut bagiku gak penting, bukankah itu sama halnya dengan memubadzirkan makanan?, padahal diluar sana banyak gelandangan yang kurang makan.” Bisa-bisanya Beraniwati membicarakan hal itu, bukankah ia sendiri sering memubadzirkan makanan dirumahnya. Udah dimasak susah-susah tapi tidak dimakan. Tapi lagi-lagi aku tak berani menyinggung masalah itu. Bukankah aku tak seberani Beraniwati?.
Pulang, membawa seguci kenangan yang meretak di jalanan. Tanpa pikir panjang ku hempaskan tubuh ini di kasur tanpa dipan, sementara Rani lebih memilih jarinya menari di tuts keyboard , menyelesaikan sesuatu. Mungkin puisinya yang belum jadi.
“Oh ya, bagaimana pendapatmu tentang ibu?” aku yang memulai
“Ibu, Ibuku sosok yang harusnya memberikan ASI terbaik malah memberi pengganti dengan air susu lain entah susu sapi atau susu kalengan. Ia lebih memilih menggadaikan kasih sayangnya pada orang lain, mencari pengganti sosok ayah yang belum sempat aku kenali, mengejar karir, mengejar rupiah, untuk masa depanku katanya, tapi ibu tak punya banyak waktu, bahkan nyaris tak ada waktu untukku. Itulah sebabnya aku lebih memilih nginap disini, paling tidak aku nggak ngerasa kesepian, pernahkah kamu merasa sendiri ? jujur aku iri kepadamu, kapanpun kamu membutuhkan kehadiran ibu, bahkan ayah, kakak, adik, mereka selalu ada di sisimu, sementara aku?”
Pertanyaan itu terus melesat tanpa henti, layaknya anak panah Kurawa menghujani tubuh Abimanyu dalam perang bharatayudha. Ada sosok lain dalam dirinya, yang jelas berbeda sewaktu di Ujung Negara.
Sejatining manungsa punika sawang-sinawang, tidak puas dengan diri sendiri dan membanding-bandingkan dengan orang lain. hampir-hampir aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Tapi sebisa mungkin aku mulai menata hatiku lagi setelah berserak saat mendengar ledakan kata-katanya. Tanpa dijawabpun pertanyaan itu juga tidak terlalu butuh jawaban. Hanya saja ada rasa tak enak bila tak menanggapi hal itu.

“Tapi fasilitas….”belum selesai aku bicara, tiba-tiba ia memotong
“Fasilitas bukanlah segala-galanya, kasih sayang ibu tak bisa dibeli dengan mata uang manapun.”
Sontak aku tersadar, meskipun tak sepenuhnya sadar. Yah, kegelisahan itu milikku juga. Ibu yang selama ini tak punya banyak arti bagiku tiba-tiba sangat bermakna, beliau sudah terbiasa ada, jadi tak ada istimewanya kasih sayang yang ibu berikan dengan tulus.
“Ibumu tidak salah, jangan lagi menaruh kebencian padanya ya?” petuahku dengan senyum.
“Syifa…!” Rani menyebut namaku, heran mungkin.

Spontan aku mengambil alih keyboard dan menyelesaikan puisi Rani

Tapi ibu,…
Tetaplah ibu
Setidaknya masih ada surga
Dibawah telapak kakinya


Ujung Pagi, 3 Shafar 1429 H

CERITA CURIAN

MEMBAYANGKAN DUNIAKU TANPANYA
oleh : Gigih Setianto
Sebetulnya aku mengenalnya belum lama, belum genap lima tahun. Namun, banyak orang yang menyangka bahwa kami adalah sahabat lama dari kecil, itu karena kami sering bersama dan hangat dalam bersahabat. Persahabatan kami berawal semenjak ia baru mengabdi di SD didesaku. Selang beberapa minggu setelah kedatangannya, karena SD tersebut adalah almamaterku dulu maka aku sering silaturrahim ke SD tersebut sekedar bercengkerama dengan guru-guruku yang dulu pernah membentukku menjadi seperti ini, aku menemukan dua sosok baru muncul di SD itu dan setelah aku tanyakan kepada pak kepala ternyata kedua sosok itu adalah guru baru SD itu. Wajah kedua guru itu begitu teduh dan menyiratkan makna kebapakan, Guru yang luar biasa, itu pikirku setelah sekilas memandangnya.
Salah satu guru baru itu bernama Abdul Sukur, nama yang tidak asing sekali ditelingaku, sebetulnya aku dulu pernah sekilas mengenalnya sewaktu ada kegiatan IRM di Rogoselo namun secara samar-samar karena waktu itu kita berbeda Pimpinan Ranting jadi hanya sekedar memandang saja, tapi aku masih ingat kalo tidak salah dulu ia pernah berambut gondrong seperti vokalis grup band. Aku sempat suudzon karena rambut gondrongnya itu, dengan mengatakan bahwa ketua Pimpinan Ranting IRM ko’ rambutnya gondrong apa bakalan IRM bisa maju, tapi untungnya tidak aku katakan kepada siapapun sehingga ia tidak tahu kalau aku telah suudzon kepadanya.
Pertemanan kita berlanjut namun belum intens, karena aku sendiri sibuk sekolah dan berorganisasi disekolah, belum ditambah sekolahku yang jauh di kota pekalongan jadi seringkali berangkat jam 6 pagi dan pulang jam 6 sore. Sehingga kita hanya bertemu saat-saat tertentu saja seperti ketika aku bermain ke SD, ada rapat IRM dan secara tidak sengaja ketemu dijalan.
Persahabatan kita semakin erat ketika pada saat KONPIRAN IRM cabang Doro aku didaulat menjadi Ketua Umum PC IRM menggantikan ketua sebelumnya yang memang tidak aktif, sebelumnya aku menjadi sekretaris umum. Ia menjadi ketua bidang KPSDM. Pasca resafel itu tidak tahu sebabnya, aku mulai tertarik pada dunia IPM, mungkin saja karena ada ia. Ide-ide baru untuk IPM mulai mengalir begitu derasnya. Otakku mulai berproses merangkai ide-ide tersebut menjadi sebuah kenyataan. Namun aku tidak mau mengatakan bahwa yang membuat kenyataan atas ide-ideku itu adalah aku, sebuah kebohongan besar jika aku mengatakan demikian. Kenyataan menunjukan bahwa ialah yang membuatnya. Buktinya waktu itu aku belum punya motor secara pribadi, ia yang selalu menyambangiku saat mau rapat, ia yang memboncengkanku dengan motor L2 Supernya yang gagah seperti dirinya saat mau turba ke Pimpinan Ranting-Pimpinan Ranting. Saat itu Pimpinan Cabang IRM doro mempunyai 6 Ranting yang kesemuanya aktif yaitu Ranting Wonosari tempatku tinggal, Ranting Kutosari tempatnya tinggal, Ranting Simbang, Ranting Pejaten, Ranting Doro dan Ranting Rogoselo, dimana jarak antar pimpinan Ranting tersebut lumayan jauh. Dan lagi dia juga yang selalu mengetik surat dengan mesin tik inventaris cabang IRM yang sangat tidak bersahabat sekali. Sehingga karenanya organisasi bisa berjalan dengan baik bahkan program-program kerja unggulan dapat terlaksana dengan sukses.
Melihat keaktifannya tersebut aku sempat optimis kelak ia akan menjadi aktifis besar, makanya ketika menjelang Musda XVII ia kami minta untuk ikut berjuang di Pimpinan Daerah IRM. Dan tidak tanggung-tanggung oleh formatur ia ditempatkan di Bidang PIP. Sungguh bangga IRM Doro punya kader seperti dirinya. Aku sendiri jangan ditanya, jangankan punya bayangan masuk di Pimpinan Daerah yang harus ngurus remaja Muhammadiyah se Kabupaten Pekalongan, ngurus diri sendiri saja belum bisa, sudah pasti tidak akan bisa masuk PD IRM.
Saat dia aktif di Pimpinan Daerah itulah ia aktif juga di cabang, posisinya sebagai aekretaris umum periode Muscab VIII dan kebetulan saja yang menjadi ketua umumnya aku, sebetulnya aku sangat belum pantas menduduki amanah itu. Dan disinilah hampir setiap perang dan damai aku lewati bersama dirinya.
Berlanjut sampai Musda XVIII pun ia dipercaya menjadi tim formatur dan berkat sikapnya yang luar biasa akhirnya amanah Ketua Bidang ASB pun diserahkan kepadanya.
Anak ketiga dari lima bersaudara ini mempunyai sifat yang sangat sederhana, kesederhanaanya tampak dari tutur katanya, tingkah lakunya, cara berpakaian, cara makan dan semua hal yang ada dalam dirinya. Pernah suatu saat ketika kebetulan saja aku punya rejeki lebih karena baru saja aku terima beasiswa supersemar, aku tawarkan kepadanya kira-kira mau makan apa sebagai balas budi karena sudah tidak terhitung ia nraktir aku makan , dengan senyuman yang khas ia menjawab kalau ia ingin makan nasi megono saja. Padahal uang yang ada dalam dompetkupun cukup kalau mau digunakan makan di Lamongan atau warung sate. Tidak hanya itu dalam berpakaianpun ia tidak berlebihan, setiap kali acara formal ia tidak mengada-ada harus memakai pakaian yang wah, ia pakai yang ia punya, tidak seperti aku yang kadang masih pinjam atas nama penampilan. Sehingga dengan seperti itu ia terkesan polos, mungkin saja saking polosnya ia belum punya dosa sama sekali.
Remaja yang saat ini berusia 24 Tahun ini juga mempunyai sifat yang penyabar, tidak hanya ketika ia menjelma menjadi seorang bapak untuk 170 anak SD, namun dalam perjuangannya di IRM juga sama, pernah suatu saat sehari menjelang KSIP, sebuah program kerja unggulan di bidangnya, Sebetulnya sudah ada kesepakatan kalau hari itu seluruh panitia wajib berkumpul di Lapangan Sinangohprendeng untuk checking akhir lapangan dan gladi bersih, namun sudah berjam-jam ditunggunya ternyata belum ada lima orang yang datang padahal hari itu harus memasang spanduk, mangapling, membuat pagar dan membuat secretariat. Dengan sifat yang ramah dan penuh senyuman ia mulai pimpin teman-temannya untuk menyelesaikan itu tanpa ada rasa menggerutu sekatapun, bahkan sebagai ketua panitia ia rela mencopot bajunya, meminjam kapak dan memotong bamboo serta dibawanya sendiri ketengah lapangan. Luar biasa. Butuh proses untuk menjadi orang sepertinya.
Remaja yang memulai karirnya dengan menjadi buruh sablon di perantauan itu memang dari awal punya sifat pekerja keras dan pengertian. Pernah suatu saat semalam sebelum pelatihan jurnalistik IRM, waktu itu ia punya janji denganku untuk menyelesaikan backdrop bersama, namun aku ternyata harus tergeletak karena kehabisan tenaga selepas mendampingi PKD TM I Pekajangan dan Talun selama tiga hari. Ia selesaikan sendiri dan memintaku untuk istirahat saja karena ia berpikir bahwa besok aku harus fit karena harus sambutan. Pengertiannya inilah yang akhirnya menyalakan sumber energiku yang kemudian jam 11 malam setelah back drop jadi kita berdua segera ke Kajen.
Sifat baik lainnya masih banyak yang ada dalam dirinya yang sudah menyatu dalam kehidupannya. Didukung dengan kedalaman ilmunya dan kekreatifitasannya menjadikan siapa saja ingin bersahabat dengannya. Menjadikan siapa saja ingin menauladani kebaikan-kebaikannya. Termasuk aku yang menempatkan dirinya sebagai guru besar dalam kehidupanku. Satu kata yang selalu aku ingat darinya “Ora Pareng ndisiti kersa” ini aku tafsirkan bahwa yang namanya manusia itu harus berusaha agar ia mendapatkan yang dicita-citakannya, tidak hanya berkhayal karena yang namanya berkhayal itu berarti mendahului takdir, bukankah manusia diperintahkan Allah untuk berusaha mengubah dirinya dan kaumnya menjadi lebih baik (QS Ar Ro’du:11). Sekali lagi berusaha, bukan berkhayal. Konsep inilah yang kemudian perlu dikaitkan bahwa kita tidak boleh berputus asa karena disamping tidak menyelesaikan masalah, juga tidak ada satu ayatpun didalam al-Quran yang memerintahkan kita untuk putus asa. Oleh karena itu konsepnya sangat relevan dengan konsep “Berani Hidup bukan Berani Mati” yang biasa aku koar-koarkan.
Semoga saja bidadarinya yang masih jauh disana lekas menemuinya agar bisa lebih menyempurnakan lagi kebaikan-kebaikannya dan bisa mencipta Abdul Sukur- Abdul Sukur yang lebih banyak lagi.
Dia pasti berharap aku tidak akan menuliskan seperti ini, karena sifatnya yang rendah hati, namun aku bukan bermaksud membesarkannya, aku hanya membayangkan jika duniaku tanpanya pasti tidak akan bermakna.


Kamis, 29 Januari 2009 jam 23.00-24.00

VALENTINA ROSSA

VALENTINA ROSSA

Hari ini Rossa kelihatan murung, padahal burung-burung gereja bernyanyi riang. Kontan aja temen-temennya pada heran. Coz tuh anak gak biasannya kaya gitu. Rossa adalah ketua kelas SMU Fave 1. nama aslinya sih bukan Rossa, tapi Rosalinda. Dirasa-rasa nama nama Rosalinda tuh nyebelin banget, soalnya temen temen manggilnya ”SI BINTANG TELENOVELA”, padahal Rossa kan gak suka banget sama Telenovela. Bahkan bisa dikatakan doi adalah cewek tomboy yang feminis....loh bingung kan??? Penulisnya aja gak bisa menggambarkan , haha... so sah-sah sajakan bila dirinya menamakan sebagai ”VALENTINA ROSSA” tettereeeeet teteteeeet,...gubrak!

Teras, 09.17 am
”Ros,...kenapa sih kamu murung gitu?, lagi ada masalah ya,...?” tanya Ayusya, sebenernya pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang basi. Sering kali di ucapkan entah disinetron, cerpen,atau novel-novel bergenre remaja. Tapi mau bagaimana lagi kalau keadaannya memang demikian. Rossa hanya diem aja, sembari tarik nafas panjang dan sesekali menghembuskannya. Kalo ada masalah ngomong dong, kali aja aku bisa bantu” desak Ayu lagi yang punya nama Ayusya Septy Maharani.
” Hmmmmghhh,...!, temen idolaku tewas yu!” kata Rossa dengan nada datar. Ayu mengerutkan keningnya dengan penuh tanda tanya
” Siapa Ros,...Rudi, Roni, atau Andi?”.
”Bukan temen Yoga, tapi temen Rossi. Lagian siapa yang ngidolain Yoga”. Hehe...padahal dari kelas satu dulu Rossa ngejar-ngejar Yoga si bintang basket loh, tapi giliran sekarang dah jadi ceweknya biasa aja tuh.
”wow...exciting!!! kamu punya idola baru ya? Atau jangan- jangan Rosihan Anwar kelas 2.4 yang punya julukan Ocit”. Rasa penasaran Ayu tak terbendung, beberapa pertannyaan menyerang Rossa.
Demi mendengan pernyataan Ayu tadi, Rossa uring-uringan.
”nggak ada sejarahnya aku yang cantik gini ngidolain cowok macam ocit. Udah kecil, dekil, item lagi...iiih najiiis tralalaaa! Amit-amit deh”.
Itu tuh yang dinamakan tomboy feminis, meskipun casingnya tomboy, tapi ngakunya cantik. Tapi emang bener cantik ding.
” Ye...siapa bilang gak ada sejarahnya, lha wong Ande-ande lumut yang cakep aja malah milih Kleting Kuning yang jewlek dibanding saudaranya.”
”udah-udah, gak perlu dibahas, lagian itukan Cuma cerita dongeng. Mendingan kita kekantin aja sekarang,...!”
”Ross...!”.
”Apa?”
”Liat deh kesini” begitu Rossa menoleh, tiba-tiba ...
”THEEENG!!!” seru ayu sambil menjentikan jarinya kehidungnya sendiri sebagai ungkapan kemenangan atas Rossa.
”satu-kosong” seru Ayu lagi.
” Sialan,...awas loh tunggu pembalasanku,...! heheheheh!” loh kok kaya mak lampir dalam misteri gunung merapi.

Kantin, 09.21 am
Kehilangan, satu kata yang mungkin sulit untuk diterjemahkan. Tapi bukan lantaran kehilangan, Rossa jadi sedih. Justru efek dari kehilanganlah yang membuatnya sedih. Loh bukannya itu sama juga dengan efek kehilangan?. Tak taulah, Rossa sedih bukan karena kehilangan seseorang, ia hanya sedih memikirkan orang yang ditinggalkan.
”Woi,... ngelamun aja, tuh es jeruknya diminum! Yang lalu biarlah berlalu. Emangnya temen siapa sih yang meninggal?”
”Temen Rossi, pembalap motogp. Masa kamu gak tahu?”
”oh...kirain temen oc....”
Belum sempet nglanjutin kata-kata tersebut, Rossa sudah siap dengan karet gelang yang mau di jepretin ke muka Ayu.
”nyadar non, diem-diem gitu ocit juga pembalap loh!”
”haah, ocit pembalap yah bener aja!!!”
”beneran, suer. Ocit tuh pemuda berbadan gelap, hahaha...dua-kosong”
Kali ini rossa hanya diam, bener-bener diam. Hanya saja diamnya bukan menunjukkan ketenangan, melainkan amarah yang tak bisa di bendung: mungkin. Ya Rossa melotot, menampakkan taringnya yang cantik, karena justru taring yang tak setajam punya drakula itulah yang membuat senyumnya mertambah manis. Menyeringai bak srikandi (gak kejem nyebut srigala). Ayu keki juga ternyata, salah tingkah, tak ada jalan lain kecuali ambil langkah seribu. Tapi sayang, bagaimana mau ambil langkah seribu, sementara ayu masih ngutang limaribu sama ibu kantin, ketahuan ngemplang ya!!!
Melihat ayu kebingungan alis rossa yang tadinya mirip bulan sabit kembar menakutkan kini kembali datar. Seringaian yang nanggal sepisanpun (salah ya) kini kini berubah menjadi bulan separuh dan sesaat kemudian langsung purnama. Rossa tertawa ngakak. ”ketipu,,,,!!!, Dua-Satu”
”ah kamu nakut-nakutin aja,.....! tapi syukurlah kamu bisa tertawa lagi”
” iya... itukan berkat Ayu. Oleh karena itu nih tak kasih foto idolamu,kamu memang sahabatku yang pualinggggg baik..Mwah!!!!(ih norak ah)
Ketika di buka ternyata selembar uang limaratusan.


DAIJIRO KATOH IN MEMORIAM, 2003

GEORGY PORGY

GEORGY PORGY…..YA ENGGAK LAH……..!

Sabtu kemarin, siang gak begitu panas karena matahari sedang asik bermain dengan awan. Atik ketawa sendiri melihat matahari ber-cilukba-ria, sambil mendengarkan lagu Ciluk Baa yang dinyayiin oleh Maisy, maklum, Atik Lagi Kepengen mengingat masa lalu yang hampir-hampir dilaluinya tanpa adanya beban. Memang nostalgia memberikan kenyamanan tersendiri bagi seseorang, itung-itung sebagai refresh saat mengerjakan Skripsi.
Masih terlintas jelas ketika ia pertama masuk TK, SD, SMP, berbeda jauh ketika masuk SMA, dan masuk perguruan tinggi yang pakai acara perploncoan segala. Sampai sekarang Atik gak ngerti maksud kegiatan tersebut, hebatnya apa kaya sekolah negara saja. Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum tentu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat mental,dan tahan cobaan, terus terang kebanyakan malesnya. Apa sih tujuan program seperti itu diadakan? jawaban mereka sudah pasti begini “soalnya agar para siswa nantinya cinta pada sekolah ini, mentalnya kuat. Inikan sebagai tes mental. Sebagai cobaan. Supaya begini, agar begitu…..bla-bla-bla” padahal tes mental yang sebenarnya ada pada kehidupan yang sedang kita jalani. Bagaimana kita menghadapi segala cobaan yang menerpa pada diri kita. Itu baru namanya tes mental! Bukan seperti Ospek, Mapras, PPS, atau Masta. Norak! Yang ada di kegiatan tersebut cuma sandiwara belaka, kepura-puraan, gila hormat, gila perhatian. Memerintah ini-itu, marah-marah, membentak-bentak tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni yee!). Memangnya nggak ada cara lain apa.
Ada juga yang bilang sebagai perkenalan antara senior dan murid baru. Kalau Cuma itu sih nggak perlu pakai push-up, muka dicorang-coreng kayak Josh Harnet dalam Film Black Hawk Down atau seperti Naruto Uzumaki. Puncak kegiatan pada malam hari, mereka menamakan malam itu sebagai malam keakraban dimana seakan-akan dunia di balik, gantian peserta membalas kekejaman panitia. Tapi anehnya gak ada satupun yang komplain. Mereka memaafkan begitu saja. Itupun masih dimarahin juga, kesal kali ya, sandiwaranya berjalan gak sesuai sekenario.
Hal semacam itu juga yang terjadi ketika pertama masuk perguruan tinggi yang mereka beri nama OSPEK, PPS atau MASTA, paling itu-itu aja sama seperti di SMA.
Tiba-tiba saja dikagetkan oleh suara “BRAK…!”. Untung jantung Atik gak copot…hehe… emang robot? Robot aja gak ada jantungnya. Gak biasanya Occa pulang segitu garangnya, meskipun ia punya senyum drakula,dengan dua taring indahnya. Senyum itu bukannya nyeremin tapi malah bertambah manis. Occa tak pernah lupa mengucap salam ketika masuk rumah, tak pernah juga membanting pintu segitu kerasnya. Belum lagi ketika masuk kamar,ia kembali membanting pintu, hingga gantungan pintu yang bertuliskan ”OCCA CUTE” bergoyang beberapa kali.
Atik nggak habis pikir, sebenarnya apa sih yang ia permasalahkan, guru, tugas sekolah, teman, keluarga. Sepertinya tidak, kalaupun iya, permasalahan itu takkan mampu merubah kesantunan Occa.
“Assalamu’alaikum, Occa, boleh kakak masuk?” Tanya Atik sambil mengetuk pintu.
“kum salam, masuk aja!” jawab Occa masih sedikit dongkol.
“emang Occa kenapa ?, tidak seperti biasanya”. Tanya Atik selembut mungkin.
“Nggak ada apa-apa kak!” jawab Occa sembari menunjukan separuh senyum untuk menghilangkan kesan dongkolnya.
“Syukurlah, tapi gak mungkin loh kalo gak ada apa-apa.” Selidik Atik “ ada apa sih?”
“Ada udang di balik batu” jawab Occa sekenanya.
“Tangkap aja,lumayan bisa buat lauk” keduanya saling tertawa.
“Kak, sebenernya Occa masih sebel ni sama ketua IPM di sekolah. Mentang-mentang jadi ketua kalau nyuruh-nyuruh gak bisa ditawar. Makanya temen-temen bilang dia tuh kayak pensil, gak ada toleransinya sama sekali. Udah gitu dia selalu bilang,” tugas seperti itu kan ringan, masak nggak mau? memalukan” sebenarnya sih bukan masalah berat atau ringan, tapi perasaan!”
“Wah adekku dah gede nih!dah bawa-bawa perasaan segala….”
“ Ih kakak, apaan sih!”
“Hayo ngaku…” ledek Atik
“Kakak…” teriak Occa manja sambil mukul kakaknya dengan bantal bermotif Minnie mouse
“Maksudnya gini, pada upacara senin depan aku di daulat untuk membaca teks janji pelajar Muhammadiyah”
“Bagus dong, memang apanya yang berat?”
“Memang gak ada beratnya kalau sekedar membaca, tapi konsekwensinya…..” kata Occa masih menggantung, seolah-olah mengajukan pertanyaan pada kakaknya tentang konsekuensi dari janji pelajar tersebut. Memang, Occa bukanlah gadis biasa. Dulu semasa SD Occa sudah terbiasa tampil dimuka umum baik sebagai mayorete Drumband Surya Gita Swara atau jadi panitia PHBI (Peringatan Hari Besar Islam)
“Coba kakak cermatin, berat bangetkan?” kata Occa sambil menyerahkan teks janji pelajar Muhammadiyah

JANJI PELAJAR MUHAMMADIYAH
1.Menegakkan dan menjunjung tinggi perintah agama Islam
2.Homat dan patuh pada orang tua dan guru
3.Bersih lahir batin dan teguh hati
4.Rajin belajar, giat bekerja serta beramal
5.Berguna bagi masyarakat dan Negara
6.Sanggup melangsungkan amal usaha Muhammadiyah

Layaknya Shinichi Kudo (itu loh detektif conan sebelum minum APTX 4869) dengan tangan kanan mengepal, sementara ibu jari menopang dagu dan telunjuk ditekuk menyentuh ujung hidung. Sementara tangan kirinya memegang teks janji pelajar Muhammadiyah.
“sepertinya tidak begitu berat bagi Occa. Coba, bagian mana yang berat bagi Occa?
Menegakkan dan menjunjung tinggi perintah agama Islam, sebagai pelajar Muhammadiyah harus senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjahi larangan-larangan Allah bukankah Occa sudah melakukannya?.
Hormat dan patuh pada orang tua dan guru, orang tua adalah orang yang melahirkan, mendidik, dan mengasuh kita dari kecil. Terlebih ibu. Bahkan dalam surat Al-Isra’ ayat 23 di tegaskan bahwa kita tidak boleh berkata “AH”. Kalo berkata ah saja tidak boleh, apalagi membantah atau menghardik. Nyatanya Occa gak pernah membantah orang tua atau guru kan? Bagaimanapun juga guru adalah orang tua Occa di sekolah.
Bersih lahir batin dan teguh hati kita harus bersih baik fisik maupun hatinya, positif thinking men kata Atik menunjukkan tiga jarinya.” gak kayak kamu, jelek-jelekin ketua IPMnya”
“Jadi Occa gak pantes ya baca teks janji pelajar Muhammadiyah”.
“Eh…bukan gitu. Kakak yakin Occa Cuma kesel sama ketumnya. Tapi sekarang dah gak lagi kan?” Lanjut ya…selain positive thinking, kita juga harus optimis dalam menghadapi sesuatu. Tidak goyah dalam aqidah. Sekarang banyak loh aliran-aliran sesat. Tapi kalo Occa gaulnya ma anak-anak SDInya IPM insya Allah aman.
Rajin belajar, giat bekerja serta beramal. Rajin belajar tidak hanya di sekolah saja, rajin ke perpustakaan, ikut kajian GJDJnya SDI IPM baik di sekolah maupun di ranting desa, itu sudah termasuk belajar. Giat bekerja serta beramal bukan hanya bekerja yang menghasilkan uang saja, atau beramal dengan materi semata, Occa ikut IPM juga termasuk bekerja, bukankah yang namanya organisasi itu adalah kumpulan beberapa orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama, disitulah lahan kerja dan amal Occa.
Berguna bagi masyarakat dan negara secara tidak langsung ketika Occa aktif di IPM sudah termasuk berguna bagi masyarakat dan negara. Lihat saja kegiatannya, baik perkaderan, bakti sosial,atau seminar-seminar dalam rangka ikut mensukseskan program pemerintah.
Sanggup melangsungkan amal usaha muhammadiyah, IPM sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha muhammadiyah, kamulah yang akan melanjutkan perjuangan muhammadiyah 20 tahun mendatang,ya dimulai dari sekarang ini. Itu adalah tugas mulia.
“Apa yang masih Occa khawatirkan? Mungkin Abu jahal tidak mau mengucap dua kalimat syahadat karena tahu konsekwensi yang harus dijalani yaitu meninggalkan tuhan selain Allah. Sementara apa yang Occa khawatirkan ketika janji pelajar yang Occa ucapkan sudah dilaksanakan”.
“Gimana? Masih mau nolak tugas itu? Berarti Occa tidak ber ke-IPM-an dong!”
“Ya enggak lah…..masak ya enggak sih!” kata Occa sambil menggerakkan kepala dan kedua tangannya seperti salah satu gerakan dalam senam Indonesia Sehat.
***
Sebuah masalah seperti halnya air mengalir,ia akan selalu mencari celah untuk masuk dalam pribadi masing-masing, silih berganti, datang tanpa diundang dan pergi tanpa permisi, satu terselesaikan, datang lagi masalah lain yang berlipat ganda. Tapi hal itu takkan menjadikan kita larut dalam permasalahan tersebut. Anggap saja masalah yang menimpa sebagai tryout dalam menghadapi ujian kehidupan. Seperti halnya kita belajar mati-matian menghadapi UASBN yang secara tidak langsung kita menamakannya Macan. Bukankah UASBN hanya menentukan hasil dari tiga tahun kita belajar kenapa mesti takut menghadapinya, lalu bagaimana dengan ujian kehidupan yang sesungguhnya.
Masih saja pikiran-pikiran seperti itu menerawang, ada rasa kepuasan tersendiri ketika bisa bermanfaat bagi orang lain. Bukankah Rasulullah bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Tidak berlebihan juga bila dalam janji pelajar muhammadiyah ada teks yang berbunyi berguna bagi masyarakat dan negara.
Atik selalu saja begitu, menjelajah waktu. Bukan berarti Atik ingin seperti Doraemon atau Nobita yang bisa dengan seenaknya menjelajah waktu dengan mesin waktu yang ada di kantong ajaibnya. Hahaha disatu sisi film kartun membuai anak-anak bahkan seorang mahasiswa sekelas Atik, banyak anak-anak yang males ngaji karena gak mau ninggalin film kartun favoritnya. Tapi siapa sangka disisi lain film kartun menyumbangkan inspirasi bagi kemajuan teknologi, nyatanya HP 3G (baca: tri ji) sudah ada sejak jaman Kura-Kura Ninja.

I’ve become so numb, I can’t feel you there, become so tired, so much more aware………..

Vokal Chester Benington menghentak keras dari kamar Ikal, tapi sekeras-kerasnya tape recorder, gak bakalan bikin mangga tetangga sebelah pada jatuh. Maklum anak SMK Audio video jadi home theaternya dibuat sedemikian rupa sehingga ngalahin sepeker masjid.
”Ikal, kalau nyetel tape jangan ngganggu tetangga sebelah dong!” Cegah Atik pada Ikal. Bukan karena rambutnya ikal, tapi karena memang nama aslinya Haikal.
“Bukan maksud ngganggu tetangga sebelah, tapi gimana lagi, namanya juga lagi marah”.
“Tapi kalau marahnya sampai ngganggu tetangga bukan termasuk orang yang beriman loh!”,
PRANG!!!!! Gantian jam dinding yang jadi sasaran
“Heeeeh, dibilangin juga. Dari pada marah-marah, nih benerin radio ajah”.
Pelampiasan kemarahan seseorang memang berbeda-beda, ada yang secara frontal, diam seribu bahasa, atau bahkan banyak makan, bias juga sebaliknya nggak doyan makan. Tapi yang namanya marah tetep aja nggak ada untungnya.
“Oh, jadi masalahnya nggak pede toh jadi ketua panitia fortasi, suka grogi kalau tampil di muka umum. Tampil di muka umum memang butuh nyali gede, emang sih ada beberapa orang yang kepedeannya tinggi dari sononya. Pede tuh gak menclok begitu aja, ia tumbuh dari pengalaman. Orang bilang, orang yang biasa berhasil pasti punya kepercayaan diri tinggi tapi pengecualian tetep aja ada, kaya kamu tuh. Meskipun jarang sekali gagal pedenya juga gak naik-naik”.
“Itu terjadi karena cara kita memandang kegagalan maupun kesuksesan yang terjadi pada diri kita”.
“Kita…elo aja kalee gue enggak”!
POK!!! satu pukulan lembut mendarat di kepala Ikal ”cowok si cowok, demen mama mia juga ternyata!”
“Aduh…ye sirik, suka - suka gue dong!” gitu deh kalo Ikal keliatan aslinya, maklum anak laki atu-atunya.
“Maksudnya cara memandang, pake lups atau mikroskop kak?” Tanya Ikal sambil bengong.
“Pake sedotan!, maksudnya adalah memandang penyebab kesuksesan maupun kegagalan pada diri kamu, itu yang disebut Locus of Control. Misalkan ketika kamu menghadapi ulangan nih, kamu dah belajar dengan keras, dan nilai kamu bagus. Kamu bilang kabegjan (bejo/untung) berarti kamu pake eksternal locus of control. Artinya penyebab kesuksesan atau kegagalan ditentukan oleh pihak luar.
Beda lagi ketika gagal padahal dah belajar sekuat tenaga kamu bilang tidak belajar. Padahal gagalnya disebabkan karena demam, itulah yang disebut Internal Locus of Control yaitu memandang kesuksesan atau kegagalan disebabkan oleh diri sendiri”
“Jadi solusinya….”
“Solusinya ya kamu harus adil dalam menggunakan locus of control tersebut. Kalo memang itu kesuksesan datang dari kamu, ya akui saja. Begitu juga dengan kegagalan. Jadi tidak menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Jangan mencari kambing hitam lah. Iya kalo kambing yang warnanya hitam, bisa buat korban tuh!”
“Kok nggak nyambung ya?” sambil garuk-garuk kepala
“Ya udah kalo memang gak nyambung, gak usah disambung - sambungin. Ntar malah korslet lagi!”
“Emangnya kabel min plus?”
“Yang terpenting, mulailah dari diskusi kelas yang ringan – ringan aja dulu, sampaikan pendapat atau gagasan. Bila georgy porgy muncul, tarik nafas dalam-dalam, tahan sampai keluar dengan sendirinya. Dijamin georgy porgy pergi karena bau. Hehehe….!
“Gak lucu, eh emangnya georgy porgy apaan si kak? ”
“Grogi tauk? Ayo mulai latihan, ngomong sama cermin. Untuk mengontrol emosimu tarik nafas dalam-dalam, hembuskan perlahan. Ikal, kamu bukan anak kecil lagi kan. Ben Parker (pamannya Petter Parker) bilang kekuatan besar menuntut tanggung jawab besar. Lakukan perubahan dari diri sendiri, dari hal yang terkecil, dan pada saat ini juga. Gimana?”
“Georgy porgy,…ya enggak lah, masa ya toyibah….!”

qolamul_ghozi@yahoo.co.id

*) Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama maupun cerita, anggap saja disengaja.

Inspirated : - Hilman, serial LUPUS “cinta olimpiade”1987,Gramedia Jakarta
Abigael Wohing Ati, Georgy Porgy, itu soal nyali!,Koran Remaja tren,semarang.
Dan pembicaraan dengan beberapa personel PD IRM.
Thanks 4 ol
***


PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...