Senin, 01 Februari 2010

aku

BOM DI MAM PEKAJANGAN

BOM DI MAM PEKAJANGAN
Sebuah nostalgi sepuluh tahun silam

Jauh sebelum ada bom di Legian Bali 12 Oktober 2002 silam, Hotel J.W. Mariot 5 Agustus 2003, bahkan baru baru ini hotel itu kembali jadi sasaran pemboman. MAM Pekajangan, sekolah yang dikelilingi pohon kelapa dan pohon mangga sudah lebih dulu jadi sasaran BOM.
Masih teringat jelas di benakku ketika aku memutuskan sekolah di MAM Pekajangan Jujur itu bukan pilihanku. melihat jarak yang cukup jauh, lagi pula aku tak begitu tertarik. Bukan karena bukan sekolah favorit, bahkan terlalu favorit Sebelum bermetamorfosis menjadi MAM Pekajangan, Madrasah Mualimien Muhammadiyah adalah sekolah yang sangat terkenal di berbagai penjuru. Entah mengapa bisa berubah menjadi Madrasah Aliyah. Mungkin karena tuntutan zaman. Apalagi di zaman seperti sekarang ini orang tak lagi memikirkan masalah pendidikan Agama, sehingga keberadaan Madrasah Aliyah termarjinalkan dari sekolah-sekolah umum. Ditambah dengan dukungan pemerintah secara besar-besaran tentang Sekolah Menengah Kejuruan, sehingga tumbuh kembang SMK laksana cendawan dimusim penghujuan. wah wah, sepertinya akan ada produksi buruh secara besar-besaran nih. Bukankah iming-iming dari SMK adalah lulus langsung kerja, benar-benar deh!
Tapi saya yakin kemunculan SMK-SMK Muhammadiyah di Kabupaten Pekalongan akan menjadi aset tumbuh kembangnya kader-kader muda Muhammadiyah yang siap menjawab tantangan zaman, tidak sekedar menjadi buruh di perusahaan asing, ketika habis kontrak kembali menjadi pengangguran. Saya yakin output dari Sekolah Muhammadiyah lebih unggul dari sekolah lain, meskipun tidak mesti ditulis diatas kertas sebagai tolak ukur lulus atau tidaknya seseorang. Nilai tetap saja nilai, hanya angka-angka di atas kertas saja.
Terlepas dari favorit atau underdog, mungkin ini memang jalan Tuhan. waktu itu tak pernah terpikir dibenakku untuk sekolah lagi, meskipun DANEM SMP ku tergolong tinggi. ya... semula aku ingin sekolah di SMA Negeri Doro saja. Saya berpikir untuk biaya harian saja, kalau sekolah dekat banyak keuntungannya. yah paling tidak bisa berangkat naik sepeda meskipun gak punya uang saku. Tapi ternyata keinginanku tak sejalan dengan pikiran bapak. Menurut bapak, dari pada sekolah di SMA Negeri lebih baik mondok saja. Wah, kalau ini justru sangat jauh lagi dari bayanganku semula. Rasa-rasanya masih ada trauma yang tinggal di benakku ketika masih di SMP 4 Kedungwuni (sekarang SMP 3) dihukum berdiri didepan kelas gara-gara tidak hafal 20 sifat wajib bagi Allah, padahal pada waktu saya di MIM Kutosari, sifat wajib bagi Allah ada 13. Gak kebayang deh kalau sampai mondok, harus berapa kali dapat hukuman?
Melihat teman-teman sibuk mendaftar kesana kemari, saya hanya diam diri di rumah. Menimbang harus mondok, madrasah, atau tidak sekolah sama sekali. Pernah terlintas untuk tidak sekolah saja. Terlebih ketika mendengar bahwa waktu pendaftaran telah usai. Semua sekolah sudah menutup pendaftaran, memang tahun itu waktu pendaftaran sangat singkat. Mungkin bersamaan dengan pelaksanaan pemilu 1999. tapi ternyata sekolah yang satu ini tak ada batas pendaftaran. bahkan setelah mendaftar saya langsung disuruh berangkat tanggal 17 Juli 1999 langsung memakai seragam SMA.
Hari pertama masuk sekolah, kami sempat kebingungan, pasalnya dimana-mana anak yang baru masuk sekolah masih memakai seragam biru putih, sementara kami langsung mengenakan seragam SMA seperti pada umumnya. Sekolah tanpa pagar bumi telah menanti, ya benar-benar tanpa pagar bumi maupun gerbang sekolah. Hanya pohon mangga dan pohon kelapa yang berdiri megah mengelilingi sekolah itu, menyiratkan sebuah keluasan. Luas fikir, luas amal dan luas segalanya. Nyatanya aku bisa leluasa sekolah disitu.
Tahun pertama aku jalani dengan semangat yang membara. Entah karena masih terbawa nostalgi masa lalu atau iklim belajar yang berbeda. Sungguh luar biasa, sekolah ini masuk lebih awal dari sekolah lain yang umumnya masuk jam 7 pagi. MAM Pekajangan masuk pada pukul 06.45 dengan alokasi waktu 15 menit untuk tadarus Al-Qur’an, mungkin karena inilah siswa-siswi di MAM Pekajangan hampir tidak ada yang nakal. Saya benar-benar merasakan hal yang berbeda di sekolah ini. Meskipun,...yang namanya remaja tetap saja ada keusilannya.
Pernah sekali waktu pada saat pelajaran matematika, kebetulan gurunya galak banget, kata temen-temen sih.... tapi bagiku tidak, beliau termasuk salah satu guru favoritku. Sebut saja bu DK, nama aslinya sih Dewi Kartika. Bu DK juga guru SMA 3 Pekalongan pada saat itu. Yah....tadarus yang biasanya hanya 15 menit, dibuat sampai setengah jam membaca surat Yasiin.
Pada jam olah raga, pak Tri Martono yang mengajar. Kebetulan musim hujan, olah raga sepak bola di lapangan becek. Wal hasil, setelah itu semua anak laki-laki mbolos. Tapi kembali lagi ke sekolah pada jam ke-7 setelah semua pakaian kering. Atas kejadian itu, tidak ada lagi pelajaran olah raga untuk kami sampai kami kelas III, sebagai gantinya, setiap hari Rabu pulang lebih awal.
Pak Sunaryo Slamet, guru Fisika dan Kimia juga tidak lepas dari keusilan siswa, beliau lebih suka memandang ke bawah ketika mengajar sehingga sering di usili murid-muridnya. Padahal menurut saya itulah bentuk dari gadhul bashar beliau kali ya, mengingat beliau masih lajang, takut kecanthol muridnya kaleee...
Bu Nur Tavifah guru bahasa Indonesia kami, juga guru bahasa Indonesia di SMA Muhammadiyah 2 Pekalongan ketika mengajarpun tidak begitu diperhatikan oleh siswa lain. Tapi bagiku asik kok mendengarkan bu guru berbicara bahasa Indonesia berlogat Tegal.
Pak Shodiqien Syafi’ie guru Sosiologi dan biologi agaknya guru yang paling disukai murid-muridnya, dengan metode pembelajaran yang berbeda membuat siswa asik dalam belajar Sosiologi. Adapun pada saat pelajaran Biologi, saya merasa lebih senang lagi karena mendapat dispensasi tidak mencatat materi pelajaran, ya karena aku diberi tugas khusus menggambar anatomi hewan atau penampang tumbuhan untuk tugas kuliah beliau.
Pak Sumarto Maksum, kepala sekolah sekaligus guru Aqidah Akhlak adalah guru yang sangat sabar,...beliau hampir tidak pernah marah. Tidak sabar bagaimana coba, naik motor saja bisa disalip dengan sepeda. Hehehe...
Pak Syukron Madani, guru besar kami... haha ya memang guru besar karena beliau guru yang bertubuh paling besar di MAM Pekajangan. Beliau guru Al-Qur’an. Belajar Al-Qur’an menjadi sangat menyenangkan, karena disela-sela mengajar pasti ada sisipan cerita-cerita lucu yang membuat pikiran fresh.
Bu Roichun, guru fiqih kami, meski beliau perempuan umurnya juga sudah tua, tetapi semangatnya tetap muda. Pernah beliau bersepeda dari Batang ke Pekajangan untuk mengajar kami. Beliau sempat kebingungan ketika mengintrogasi 3 siswa yang ketahuan mbolos. Satu orang menjawab pergi ke acara ulang tahun temannya bernama Siska. Siswa yang kedua menjawab pergi kerumah Donna, dan siswa ketiga mengatakan pergi ke rumah Mea. Sebetulnya pergi kemana sih.....? dijawab aja sekenanya pergi ke rumah Amelia Donna Siska.
Pak Sulaiman Achmad, guru Antrophologi. Paling suka meninggalkan tugas catatan kepada para muridnya. Kemudian diteliti satu persatu di depan kelas. Kalau kebetulan menjumpai draft surat cinta di dalamnya, tidak sungkan-sungkan dibacanya sehingga si empunya merah padam.
Pak Kismun, guru sejarah kami. Mungkin kalau disamakan dengan tokoh wayang beliau adalah Bilung atau Togog, tokoh wayang yang ngemong Bala Kurawa. Lagian, pak Kismun sering menyebut kami Bala Kurawa mungkin karena saking usilnya kali ya!
Pak Tajuddin Arghubi, guru bahasa Arab biasa di panggil pak TA. Tapi sepulang dari Makkah al-Mukarromah beliau menyebut dirinya TAM yang artinya sempurna. Dulu pertama kali diajar pak TA setiap siswa disuruh perkenalan dengan bahasa Arab. Ada teman yang dari MTs Wali Songo ketika menyebut sekolahnya semua di bahasa Arabkan menjadi almadrosatul mutawasithoh al islamiyah waliyun tis’ah kontan saja menjadi bahan tertawaan teman-teman.
Pak Anwar, guru Ekonomi dan Akuntansi merangkap di SMUHA, pernah membuatku menangis, ketika aku ditanya apakah sudah melihat hasil rapor cawu itu, aku jawab saja sejujurnya belum bisa melihat hasil rapor karena masih nunggak infaq bulanan selama 4 bulan. Kata beliau aku mendapat nilai Akuntansi tertinggi.
Satu cerita yang tak terlupakan, tepatnya tanggal 24 April 2001. Saat itu pelajaran Bahasa Inggris, bu Eva Farida yang mengajar. Kata teman-teman sih beliau mirip Dina Lorenza. Ada ciri khas dari bu Eva ketika mengajar. Yaitu tidak pernah tidak mengucapkan kata ”yah”... dalam dua jam pelajaran mungkin 50an kata yah yang keluar bahkan saya dan teman sebangku sering kali iseng menghitungnya....hehehe.
Ketika semua sedang berkonsentrasi, tidak tahu konsentrasi dalam hal apa, bisa memperhatikan pelajarannya, atau yang mengajar, atau malah menghitung kata yah tadi... tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang lumayan keras....titititit berkali-kali (awas loh membacanya jangan dipenggal-penggal) yah hampir semua siswa berhamburan keluar kalau saja bungkusan yang ada di laci meja salah satu siswi tidak buru-buru dibawa keluar. Yah...kotak itulah yang semula dianggap sebagai bom, ternyata kado yang berisi jam wekker yang alarmnya masih aktif. Wah...dibongkar lagi deh kadonya, jadi gak surpraise dong. Huffff... untung saja bukan bom beneran ya!
Yah,....(loh kok malah ikut-ikutan bu Eva nih) meski tidak sedikit siswa yang usil, alhamdulillah mereka semua jadi orang. Meskipun MAM Pekajangan di cap sebagai sekolah buangan karena hampir tiap tahun pasti ada anak-anak nakal atau drop out dari sekolah lain yang ternyata masih bisa diterima di situ, tapi saya mengatakan MAM adalah sekolah yang paling peduli. Yah hanya MAM Pekajanganlah yang berani mengambil resiko itu, kalau anak yang drop out tidak diterima lagi di sekolah, akan jadi apa mereka coba?. Tapi nyatanya anak-anak pindahan dari sekolah lain justru merasakan betah sekolah di situ. Yah karena para guru di MAM Pekajangan tidak hanya mengajar dengan akal mereka, tetapi dengan hati mereka juga, dengan keikhlasan mereka, dengan ketulusan mereka, do’a-do’a yang tulus dari mereka, sehingga kami para muridnya yang bisa dikatakan durhaka selama menjadi murid bisa menjadi seperti ini.
Terima kasih Ayahanda/Ibunda guru MAM Pekajangan tahun 1999 s.d 2002. bu Nur Hajaroh guru bahasa Indonesia,Ekonomi, Akuntansi ku di kelas I. Pak Dawari, Guru Matematikaku saat kelas I yang rajin sholat dhuha, aku yakin dalam do’a mu kau pintakan supaya kami menjadi anak-anak yang pintar. Pak Budi, sebagai pengganti pak Sunaryo untuk sementara pada saat beliau melanjutkan studi. Pak Irfan Guru SKI pada saat kelas III. Pak Sumairi Sundrus guru Tata Negara yang disiplinnya melebihi tentara Belanda. Mohon berjuta maaf bila kelakuan kami sempat menoreh luka di hati, meski saya yakin pendendam bukan sifat engkau. Maafkan kami ayahanda dan ibunda guru. Mohon maaf bila ada bapak/ibu guru yang belum saya sebut.
Terima kasih Ayahanda/Ibunda guru MAM Pekajangan tahun 1999 s.d 2002. Baktimu terus ku kenang, ijinkan aku meneruskan cita-citamu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Restui aku agar istiqomah di jalan ini, ajari aku menjadi orang sepertimu yang senantiasa tulus, ikhlas, dan sabar dalam menghadapi murid seperti kami pada saat itu.
31 Januari 2010,23:16 tidak terasa sudah 8 tahun ternyata.

AKU DAN HANIFAH

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...