Kamis, 25 November 2010

KEPALA SEMUT VS EKOR GAJAH

AKU ADALAH KEPALA SEMUT YANG JADI EKOR CICAK
“Meskipun kecil, jadilah pelopor. Jangan asal besar tapi hanya pengekor”


Sore ini aku sedikit bisa santai dari biasanya, bahkan kegemaranku membaca kembali membara. Ternyata hobi membaca yang ada pada diriku tidak sepenuhya sirna. Buktinya aku sempat melahap buku setebal 128 halaman dalam waktu singkat.
Membaca sudah menjadi aktifitasku sejak dulu, buku menjadi teman setiaku, begitu juga diary kecil warna hijau yang telah aku sampuli ulang dengan warna orange dan kuning lemon bertuliskan puisi William Shakesphere dengan mesin ketik.
Kubaca lembar demi lembar, diaryku mengajak kembali pada masa 8 tahun silam. Aku pernah jatuh cinta juga rupanya, tidak pada satu gadis, bahkan empat sekaligus. Yah, hanya sebatas mengagumi, tanpa ambisi untuk memiliki. Lagipula tidak terlalu berlebihan, dengan demikian tak pernah mengganggu aktifitasku sebagai pelajar, malahan dengan adanya mereka, sedikit banyak memberii motivasi positif.
Ada sebuah tulisan yang memaksaku untuk memperhatikannya lebih dalam,

Liena,….aku pernah bilang ke kamu “Mending jadi kepala semut ketimbang jadi ekor gajah” disaat aku jadi kepala semut, aku malah pergi demi sedikit gula. Sekarang, aku tak lebih dari buntut cicak yang dipermainkan kucing liar. Bergerak-gerak tanpa arah dan akhirnya diam.
Liena,…..maafin aku ya, aku nggak bias pegang janjiku.
Temen-temen, maafin aku juga, aku di sini bukan untuk bersenang-senang. Hidup-hidupilah IRM kita!

Ya aku ingat, 17 Oktober 2001 aku terpilih sebagai ketua umum Pimpinan Ranting Ikatan Remaja Muhammadiyah Kutosari yang sebelumnya tidak dicalonkan. Gara-gara calon utama yang diproyeksikan jadi ketua mangkir, bukan dua calon yang lain yang harus dipilih. Justru saya yang dijadikan sebagai gantinya. Musyawirin ternyata memilihku. Jadilah saya Ketua Umum. Bermodal Rp 9.000,00 dari sisa kas periode sebelumnya saya bersama teman-teman yang sama-sama masih awam berusaha mengembangkan IRM. Suka dan duka selalu ada, dari masalah dana sampai personal antar anggota. Untuk mengadakan kegiatan pengkaderan saja harus door to door minta donatur dari warga, tidak jarang pula yang mengatakan IRM kerjanya cuma minta-minta. Tidak jarang pula antar anggota ada gap sementara program yang disusun bersama mesti ditunaikan, dari pengkaderan, lomba-lomba romadhon, bahkan tadabbur alam.
Belum genap setahun kepemimpinanku, 14 September 2002 aku merantau ke Jakarta. Banyak hal yang belum saya tunaikan dalam organisasiku. Ternyata begitu sulit bergerak tanpa dukungan dana dan lebih berat lagi kalau tak ada dukungan dari anggota. Saya benar-benar merasa tidak mampu memimpin IRM. Maka, ketika ada tawaran ke Jakarta, saya putuskan untuk mengambil kesempatan itu.
Tapi ternyata itu bukan sebuah solusi. Apakah semua pemimpin pernah mengalami hal seperti itu? Teringat olehku kisah nabi Yunus yang meninggalkan kaumnya karena tidak mau mengikuti dakwahnya sampai akhirnya ia diuji oleh Allah didalam perut ikan. Ia sadar bahwa meninggalkan kaumnya sama halnya lari dari tugasnya sebagai nabi. Hal ini pula yang kadang jadi alasan, nabi saja seperti itu, apalagi aku yang hanya manusia biasa bukankah itu hal yang lumrah. Tapi ketika saya piker kembali, tantangan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dialami para nabi dan rasul.
Minggu-minggu awal di Jakarta tak lepas dari air mata. Sesal tiada guna, pulang pun jauh dari rencana. Aku jalani apa yang sudah menjadi jalanku, meski di sini aku harus beberapakali terlempar, keluar masuk pintu, mencari kerja sebagai buruh. Menjadi buruh saja susah, apalagi jadi pemimpin. Ah, rasanya hampir menyerah, namun ketika ku ingat satu kata dalam surat Liena yang aku terima lewat mimpi membuatku kembali berdiri ; STANDING STILL katanya.
Liena,… aku masih berdiri sekarang. Dulu seorang buruh, sekarang seorang guru. Meskipun gajiku sebagai buruh dulu lebih besar dari gajiku sebagai guru SD swasta sekarang, tapi saya selalu yakin bahwa menjadi kepala semut lebih baik dari pada menjadi ekor gajah. 

01:29, 17 Dzulhijjah 1431

Rabu, 15 September 2010

KEZALIMAN DI BATAS KELAZIMAN

KEZALIMAN DIBATAS KELAZIMAN
“benar atau salah bukanlah sebuah ukuran untuk menilai perbuatan seseorang,
karena rupa-rupanya kebenaran yang terjadi saat ini hanya sebatas kelaziman semata.
Salah kaprah,bener ora lumrah”

Menjadi sebuah kelaziman, bila suatu Negara mempunyai dasar Negara. Indonesia misalnya, Negara kita yang subur, makmur, mempunyai belasan ribu pulau dan laut yang terbentang begitu luas dengan segala sumber dayanya, sungguh dapat dikatakan sebagai Negara yang gemah ripah lohjinawi tata tentrem kerta raharja. Namun sudahkah kita nikmati? Yah barang kali hanya sebagian kecil orang saja yang menikmatinya karena justru dari sebagian kecil tersebut mengambil bagian yang sepenuhnya besar yang menyebabkan sebagian besar lainnya tidak kebagian.

Tulisan ini bukan untuk mengadili orang demi orang, tapi coba kita renungkan, adakah nama kita tercatat didalamnya. Di dalam sebuah kotak kezaliman. Zalim pada diri sendiri, orang lain dan melazimkan kezaliman itu sendiri sebagai sebuah hak asasi.

Kita terlalu mengagungkan hak asasi tanpa dasar. Sadar atau tidak, dasar Negara kita yang tiap senin pagi kita tirukan dalam upacara bendera, tak pernah membekas. Hanya sebagai pajangan di depan kelas diapit dua gambar orang terdepan di Negara kita, presiden dan wakil presiden.

Betulkah tuhan kita benar-benar Esa? Tuhan yang patut disembah tiada duanya. Seberapa besar kepercayaan kita kepada tuhan yang maha Esa?. Saya yakin, dan berani menjamin bahwa sebagian besar WNI (Warga Negara Indonesia) percaya bahwa tuhan itu satu. Cukupkah dengan satu tuhan saja?

Mungkin sudah menjadi sifat dasar manusia yaitu serakah, hingga tuhanpun tak cukup satu rupanya. Kita ciptakan tuhan-tuhan lain; kekuasaan, uang, dan segala kenikmatan duniawi yang tanpa disadari justru menjebak kita sendiri : semakin jauh dari tuhan. Atau, dengan ke-Esa-anNya manusia menganggap tuhan tak mampu mengawasinya, sehingga kita berbuat semaunya, menyebar kezaliman-kezaliman sampai batas kelaziman.
Dengan demikian, dimana letak keadilan? Dimana peradaban manusia sebagai makhluk yang paling sempurna?

Bila keadilan di Negara kita mulai sirna sanggupkah penduduk dari belasan ribu pulau bertahan dalam NKRI? Cukup timor timur saja yang lepas. Kuharap Indonesia masih terus bernafas melanjutkan usianya yang masih muda untuk ukuran sebuah Negara.

Demokrasi macam apakah yang terjadi di Negaraku bila kebanyakan wakil kita hanya tergabung dalam paduan suara lagu setuju, “ah itu kan dulu. Sekarang malah lebih seru tak cukup dengan setuju, kalau perlu sekalian adu tinju”. Atau kita yang kecanduan demokrasi jalan raya yang pada akhirnya berujung korban jiwa. “Jangan terlalu menyalahkan pemerintah toh mereka pilihan kita”. Model pilihan langsung untuk menghindari pilih kucing dalam karung semakin membuat kita bingung, pinginnya pilih semua apa lagi yang ada hadiahnya seperti kecederungan masyarakat kita yang senang dengan iklan, undian, dan belanja di swalayan. Paling-paling kalo kecapean baru komentar kenapa susah-susah pilih sendiri kalau ujungnya sama saja, semua pemimpin bijaksana. Ah kata siapa? Bijaksana kata mereka yang berkepentingan di sana.

Akhirnya kita berharap adanya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi masih saja dikejutkan oleh berita-berita di koran, radio dan televisi. Lagi-lagi korupsi. Dengan mudah pelakunya dapat remisi. Sedangkan rakyat pencari (bukan pencuri) cokelat, randu dan semangka entah divonis berapa tahun penjara. Adilkah Negara kita?

Saya kok jadi menghayal kalau-kalau para koruptor sadar menonton berita, rakyat saja dengan kesalahan kecil pasrah divonis berapapun lamanya tanpa menyewa pengacara. Kenapa yang sudah jelas-jelas korupsi justru berbalik mengajukan somasi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Gila, bener-bener gila, siapa yang harus dibela?

Tentunya kita harus membela diri kita, jangan sampai ikut-ikutan melazimkan kezaliman, menyianyiakan waktu yang diberikan tuhan. Masih ada waktu untuk berubah, mari kita cegah kezaliman jangan sampai melampaui batas kelaziman; dengan tangan dan lisan. Kalaupun tak mampu, cukup dengan hati saja bagi yang lemah imannya. Doakan mereka, tak perlu dikoreksi kalau hati mereka telah mati. Tetap jalankan misi kita, sebagai generasi masa depan yang akan teruskan cita-cita mereka.
Indonesia Raya…Merdeka Merdeka tanahku negeriku yang kucinta. Indonesia raya merdeka-merdeka hiduplah Indonesia raya.

Indonesia Raya, 17 Agustus 2010

NB : 65 tahun Indonesiaku, benarkah sudah berubah? Atau bertambah parah. Semoga keduanya salah, karena Negara kita tidak berubah, masih tetap gemah ripah, penduduknya ramah-ramah ketika ada masalah selalu diselesaikan dengan musyawarah. Terlebih masalah dengan Negara asing, kita seperti macan yang kehilangan taring. Tapi anehnya ketika berhadapan dengan pedagang kaki lima mendadak berubah menjadi singa.

Selasa, 10 Agustus 2010

IRONMAN

Kisah superhero jauh dari pakem yang sesungguhnya
IRON MAN

“Hidup tanpa kritik, layaknya makan tanpa krupuk.
Hidup penuh kritik seperti kuda lumping makan beling”

Sebuah kritikan sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Tanpa kritik mungkin hidup ini datar-datar saja, tak ada kemajuan yang berarti, bahkan bisa jadi justru lepas kendali. Kendati demikian hidup penuh kritik bukan berarti lebih baik, bisa jadi justru menghambat kemajuan itu sendiri; stagnan.
Di sebuah desa, desanya para Super Hero hiduplah macam-macam Super Hero dari golongan hewan. Saya tidak tahu kenapa lebih banyak hewan yang menjadi Super Hero, bukan manusia. Padahal di situ adalah desanya para manusia. Sebut saja mereka Batman, Robin, Spiderman, Scooby, Silver Hawk, Thunder Cats sekeluarga (Lion-o, Cheetaraa, Phantero, Tigra, dkk), Batgirl, Catwomen, dkk. Sesuai namanya meskipun mereka Super Hero tetap saja punya sisi ke-binatangan-nya. Misalnya; batman yang suka keluar malam, Robin suka berkelana, Spiderman suka merayap dan menunggu mangsa ia tidak mau susah-susah tinggal pasang jaring saja. Tanpa disebut satu per satu, silahkan dipikir sendiri sisi kebinatangan mereka masing-masing.
Selain binatang, disana hidup juga Super Hero yang memang dari golongan manusia. Sebut saja Ironman, Robocop, Zoroo, Robin Hood, Superman, wonder women dkk.
Dalam film, Ironman maupun Robocop sama-sama manusia yang berbaju besi jadi tidak heran bila mereka punya sifat yang sama: keras kepala. Zoroo dan Robin Hood juga hampir sama, sama-sama merampok orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada fakir miskin. Yang paling berbeda justru Superman, dia bukan manusia super seperti dalam cerita, dia hanyalah seorang super angkot saja.
Suatu hari mereka berencana membuat sebuah mushola. Saya salut atas usaha mereka. Meski mereka bukan manusia seutuhnya, tapi mereka berusaha untuk menyembah sang pencipta. Pada rapat yang pertama, muncul beberapa usulan, Spiderman mengusulkan untuk penggalangan dana pasang jaring saja, bisa di jalan, di pasar, atau di keramaian. Menurut Batman yang punya kemampuan ekolokasi ia akan terjun langsung meminta donator masyarakat. Sedangkan Robin mengusulkan untuk mencari dana bantuan pemerintah, kebetulan ia juga aktivis LSM jadi punya banyak link di pemerintahan.
Rapat pertama berjalan lancar, begitu pula tindak lanjutnya. Mereka bekerja sesuai jobnya masing-masing.
Konflik mulai muncul ketika pondasi mushola mulai dibangun. Ironman mencak-mencak gara-gara galian pondasi masuk pekarangannya. Terlebih Zoroo yang dituduh menggali tanah tersebut. Syahdan, pada saat itu juga Zoroo bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di mushola itu sebelum Ironman mati. Agaknya tidak hanya Sudah menjadi sifat dasar Ironman, dia laksana setrika, haus pujian, ia menganggap bahwa baju yang rapi karena jasanya, tanpa melihat jasa detergen, air, ember, dan alat-alat lain pada saat mencuci. Ia tidak berfikir nantinya mushola untuk siapa yang jelas ia ingin berdirinya mushola itu atas jasanya. Bagaimana masyarakat akan menilai seperti itu kalau pekarangan yang tergali saja membuatnya mencak-mencak.
Ditengah pembangunan ternyata mushola itu kekurangan kayu. Dengan mudah Robinhood menjarah hutan jati milik pemerintah, dia pikir inikan bukan untuk kepentingan pribadi, jadi sah-sah saja. Sementara Superman membantu mengangkut kayu-kayu itu. Pembangunan dilaksanakan secara cepat oleh kawanan Thunder Cats dan pemasangan atap dilakukan oleh Silver Hawk. Super Hero wanita seperti Batgirl, Cat women dan Wonderwomen menyediakan konsumsinya.
Mushola sudah jadi, mereka kebingungan untuk menentukan siapa muadzin, dan imamnya. Semua menolak, Super Hero perwakilan dari binatang mengusulkan untuk jadi imam dari golongan manusia saja karena manusia lebih sempurna dari mereka. Untuk muadzin mereka mengusulkan Scooby yang suaranya keras.
Tanpa ditunjuk, Ironman langsung mengajukan diri. Ia paling sempurna diantara super hero lainnya, terutama dari golongan manusia. Zoroo dan Robin Hood, mereka adalah pencuri mana mungkin jadi imam. Robocop juga sebetulnya sudah mati tapi dihidupkan lagi tidak mungkin solat dipimpin oleh mayat. Wonder woman jelas tidak mungkin, emansipasi wanita tidak berlaku dalam hal ini. Sementara superman menolak, cukup ia jadi super angkot saja tidak mau jadi super mushola.
Formasi ini berlangsung selama bertahun-tahun. Ironman sebagai imam dan Scooby sebagai muadzinnya berjalan lancar tanpa ada kendala. Hingga suatu ketika, entah mengapa Ironman tidak muncul juga padahal sudah lewat 15 menit adzan maghrib berkumandang. Akhirnya jama’ah mendaulat Scooby untuk jadi imam. Entah bagaimana ceritanya surat al-Kafirun yang dibaca pada rokaat pertama tidak selesai-selesai, muter-muter tak sampai sampai, membuat jama’ah tertawa terpingkal-pingkal. Solat jamaah rusak, Scooby malu, ia bersumpah tak kan lagi solat berjamaah sebelum Ironman dimakan cacing tanah.
Sudah dua super hero yang lari dari jamaah, zoroo dan Scooby. Peristiwa itu memang sungguh memalukan bagi Scooby ditambah dengan kemarahan ironman membuat suasana menjadi tambah panas selaksa setrika. Scooby dan jamaah kena marah. Esokna jamaah semakin berkurang. Hanya superhero kecil yang sesekali menggantikan adzan dengan suara putus-putus, itupun dilakukan karena tak ada yang menjadi muadzin. Lagi-lagi kena marah, bahkan tidak hanya dari ironman saja, Robocop ikut-ikutan memarahinya. Superhero kecil malas ke moshola, orang tuanya juga.
Sekarang tinggal Ironman dan Robocop yang semakin renta saja yang jamaah. Kadangkala muadzin dan imam didominasi mereka berdua meskipun jamaah tak sampai satu shof penuh. Sementara yang muda kadung kecewa dengan sikap Ironman dan Robocop kepada mereka semasa belia.
Mushola kecil yang dibangun atas kebersamaan, kerukunan antar manusia dan binatang kini telah kehilangan ruhnya seakan-akan mushola itu hanya milik Ironman dan Robocop saja. Ironman mulai sakit-sakitan, Robocop yang ambil kendali, kini ia sadar bahwa melarang anak-anak adzan menyusahkan dirinya sendiri karena tak ada lagi yang mengganti.
Hari itu, tepatnya malam rabu Ironman meninggal dunia. Tak ada duka maupun tangis, tak hanya rela tapi perasaan lega bahkan diselingi kutukan-kutukan dari masyarakat lainnya. Selepas itu jamaah semakin banyak, orang-orang kembali ke mushola, Scooby, Zorroo telah kadaluarsa masa sumpahnya. Ironman telah mati, jamaah mushola ramai kembali.

Depan Baiturrohman, akhir Sya’ban 1431 H

Ada yang bisa dipetik dari cerita tadi? Silahkan dikomentari. Matur nuwun

Senin, 01 Februari 2010

aku

BOM DI MAM PEKAJANGAN

BOM DI MAM PEKAJANGAN
Sebuah nostalgi sepuluh tahun silam

Jauh sebelum ada bom di Legian Bali 12 Oktober 2002 silam, Hotel J.W. Mariot 5 Agustus 2003, bahkan baru baru ini hotel itu kembali jadi sasaran pemboman. MAM Pekajangan, sekolah yang dikelilingi pohon kelapa dan pohon mangga sudah lebih dulu jadi sasaran BOM.
Masih teringat jelas di benakku ketika aku memutuskan sekolah di MAM Pekajangan Jujur itu bukan pilihanku. melihat jarak yang cukup jauh, lagi pula aku tak begitu tertarik. Bukan karena bukan sekolah favorit, bahkan terlalu favorit Sebelum bermetamorfosis menjadi MAM Pekajangan, Madrasah Mualimien Muhammadiyah adalah sekolah yang sangat terkenal di berbagai penjuru. Entah mengapa bisa berubah menjadi Madrasah Aliyah. Mungkin karena tuntutan zaman. Apalagi di zaman seperti sekarang ini orang tak lagi memikirkan masalah pendidikan Agama, sehingga keberadaan Madrasah Aliyah termarjinalkan dari sekolah-sekolah umum. Ditambah dengan dukungan pemerintah secara besar-besaran tentang Sekolah Menengah Kejuruan, sehingga tumbuh kembang SMK laksana cendawan dimusim penghujuan. wah wah, sepertinya akan ada produksi buruh secara besar-besaran nih. Bukankah iming-iming dari SMK adalah lulus langsung kerja, benar-benar deh!
Tapi saya yakin kemunculan SMK-SMK Muhammadiyah di Kabupaten Pekalongan akan menjadi aset tumbuh kembangnya kader-kader muda Muhammadiyah yang siap menjawab tantangan zaman, tidak sekedar menjadi buruh di perusahaan asing, ketika habis kontrak kembali menjadi pengangguran. Saya yakin output dari Sekolah Muhammadiyah lebih unggul dari sekolah lain, meskipun tidak mesti ditulis diatas kertas sebagai tolak ukur lulus atau tidaknya seseorang. Nilai tetap saja nilai, hanya angka-angka di atas kertas saja.
Terlepas dari favorit atau underdog, mungkin ini memang jalan Tuhan. waktu itu tak pernah terpikir dibenakku untuk sekolah lagi, meskipun DANEM SMP ku tergolong tinggi. ya... semula aku ingin sekolah di SMA Negeri Doro saja. Saya berpikir untuk biaya harian saja, kalau sekolah dekat banyak keuntungannya. yah paling tidak bisa berangkat naik sepeda meskipun gak punya uang saku. Tapi ternyata keinginanku tak sejalan dengan pikiran bapak. Menurut bapak, dari pada sekolah di SMA Negeri lebih baik mondok saja. Wah, kalau ini justru sangat jauh lagi dari bayanganku semula. Rasa-rasanya masih ada trauma yang tinggal di benakku ketika masih di SMP 4 Kedungwuni (sekarang SMP 3) dihukum berdiri didepan kelas gara-gara tidak hafal 20 sifat wajib bagi Allah, padahal pada waktu saya di MIM Kutosari, sifat wajib bagi Allah ada 13. Gak kebayang deh kalau sampai mondok, harus berapa kali dapat hukuman?
Melihat teman-teman sibuk mendaftar kesana kemari, saya hanya diam diri di rumah. Menimbang harus mondok, madrasah, atau tidak sekolah sama sekali. Pernah terlintas untuk tidak sekolah saja. Terlebih ketika mendengar bahwa waktu pendaftaran telah usai. Semua sekolah sudah menutup pendaftaran, memang tahun itu waktu pendaftaran sangat singkat. Mungkin bersamaan dengan pelaksanaan pemilu 1999. tapi ternyata sekolah yang satu ini tak ada batas pendaftaran. bahkan setelah mendaftar saya langsung disuruh berangkat tanggal 17 Juli 1999 langsung memakai seragam SMA.
Hari pertama masuk sekolah, kami sempat kebingungan, pasalnya dimana-mana anak yang baru masuk sekolah masih memakai seragam biru putih, sementara kami langsung mengenakan seragam SMA seperti pada umumnya. Sekolah tanpa pagar bumi telah menanti, ya benar-benar tanpa pagar bumi maupun gerbang sekolah. Hanya pohon mangga dan pohon kelapa yang berdiri megah mengelilingi sekolah itu, menyiratkan sebuah keluasan. Luas fikir, luas amal dan luas segalanya. Nyatanya aku bisa leluasa sekolah disitu.
Tahun pertama aku jalani dengan semangat yang membara. Entah karena masih terbawa nostalgi masa lalu atau iklim belajar yang berbeda. Sungguh luar biasa, sekolah ini masuk lebih awal dari sekolah lain yang umumnya masuk jam 7 pagi. MAM Pekajangan masuk pada pukul 06.45 dengan alokasi waktu 15 menit untuk tadarus Al-Qur’an, mungkin karena inilah siswa-siswi di MAM Pekajangan hampir tidak ada yang nakal. Saya benar-benar merasakan hal yang berbeda di sekolah ini. Meskipun,...yang namanya remaja tetap saja ada keusilannya.
Pernah sekali waktu pada saat pelajaran matematika, kebetulan gurunya galak banget, kata temen-temen sih.... tapi bagiku tidak, beliau termasuk salah satu guru favoritku. Sebut saja bu DK, nama aslinya sih Dewi Kartika. Bu DK juga guru SMA 3 Pekalongan pada saat itu. Yah....tadarus yang biasanya hanya 15 menit, dibuat sampai setengah jam membaca surat Yasiin.
Pada jam olah raga, pak Tri Martono yang mengajar. Kebetulan musim hujan, olah raga sepak bola di lapangan becek. Wal hasil, setelah itu semua anak laki-laki mbolos. Tapi kembali lagi ke sekolah pada jam ke-7 setelah semua pakaian kering. Atas kejadian itu, tidak ada lagi pelajaran olah raga untuk kami sampai kami kelas III, sebagai gantinya, setiap hari Rabu pulang lebih awal.
Pak Sunaryo Slamet, guru Fisika dan Kimia juga tidak lepas dari keusilan siswa, beliau lebih suka memandang ke bawah ketika mengajar sehingga sering di usili murid-muridnya. Padahal menurut saya itulah bentuk dari gadhul bashar beliau kali ya, mengingat beliau masih lajang, takut kecanthol muridnya kaleee...
Bu Nur Tavifah guru bahasa Indonesia kami, juga guru bahasa Indonesia di SMA Muhammadiyah 2 Pekalongan ketika mengajarpun tidak begitu diperhatikan oleh siswa lain. Tapi bagiku asik kok mendengarkan bu guru berbicara bahasa Indonesia berlogat Tegal.
Pak Shodiqien Syafi’ie guru Sosiologi dan biologi agaknya guru yang paling disukai murid-muridnya, dengan metode pembelajaran yang berbeda membuat siswa asik dalam belajar Sosiologi. Adapun pada saat pelajaran Biologi, saya merasa lebih senang lagi karena mendapat dispensasi tidak mencatat materi pelajaran, ya karena aku diberi tugas khusus menggambar anatomi hewan atau penampang tumbuhan untuk tugas kuliah beliau.
Pak Sumarto Maksum, kepala sekolah sekaligus guru Aqidah Akhlak adalah guru yang sangat sabar,...beliau hampir tidak pernah marah. Tidak sabar bagaimana coba, naik motor saja bisa disalip dengan sepeda. Hehehe...
Pak Syukron Madani, guru besar kami... haha ya memang guru besar karena beliau guru yang bertubuh paling besar di MAM Pekajangan. Beliau guru Al-Qur’an. Belajar Al-Qur’an menjadi sangat menyenangkan, karena disela-sela mengajar pasti ada sisipan cerita-cerita lucu yang membuat pikiran fresh.
Bu Roichun, guru fiqih kami, meski beliau perempuan umurnya juga sudah tua, tetapi semangatnya tetap muda. Pernah beliau bersepeda dari Batang ke Pekajangan untuk mengajar kami. Beliau sempat kebingungan ketika mengintrogasi 3 siswa yang ketahuan mbolos. Satu orang menjawab pergi ke acara ulang tahun temannya bernama Siska. Siswa yang kedua menjawab pergi kerumah Donna, dan siswa ketiga mengatakan pergi ke rumah Mea. Sebetulnya pergi kemana sih.....? dijawab aja sekenanya pergi ke rumah Amelia Donna Siska.
Pak Sulaiman Achmad, guru Antrophologi. Paling suka meninggalkan tugas catatan kepada para muridnya. Kemudian diteliti satu persatu di depan kelas. Kalau kebetulan menjumpai draft surat cinta di dalamnya, tidak sungkan-sungkan dibacanya sehingga si empunya merah padam.
Pak Kismun, guru sejarah kami. Mungkin kalau disamakan dengan tokoh wayang beliau adalah Bilung atau Togog, tokoh wayang yang ngemong Bala Kurawa. Lagian, pak Kismun sering menyebut kami Bala Kurawa mungkin karena saking usilnya kali ya!
Pak Tajuddin Arghubi, guru bahasa Arab biasa di panggil pak TA. Tapi sepulang dari Makkah al-Mukarromah beliau menyebut dirinya TAM yang artinya sempurna. Dulu pertama kali diajar pak TA setiap siswa disuruh perkenalan dengan bahasa Arab. Ada teman yang dari MTs Wali Songo ketika menyebut sekolahnya semua di bahasa Arabkan menjadi almadrosatul mutawasithoh al islamiyah waliyun tis’ah kontan saja menjadi bahan tertawaan teman-teman.
Pak Anwar, guru Ekonomi dan Akuntansi merangkap di SMUHA, pernah membuatku menangis, ketika aku ditanya apakah sudah melihat hasil rapor cawu itu, aku jawab saja sejujurnya belum bisa melihat hasil rapor karena masih nunggak infaq bulanan selama 4 bulan. Kata beliau aku mendapat nilai Akuntansi tertinggi.
Satu cerita yang tak terlupakan, tepatnya tanggal 24 April 2001. Saat itu pelajaran Bahasa Inggris, bu Eva Farida yang mengajar. Kata teman-teman sih beliau mirip Dina Lorenza. Ada ciri khas dari bu Eva ketika mengajar. Yaitu tidak pernah tidak mengucapkan kata ”yah”... dalam dua jam pelajaran mungkin 50an kata yah yang keluar bahkan saya dan teman sebangku sering kali iseng menghitungnya....hehehe.
Ketika semua sedang berkonsentrasi, tidak tahu konsentrasi dalam hal apa, bisa memperhatikan pelajarannya, atau yang mengajar, atau malah menghitung kata yah tadi... tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang lumayan keras....titititit berkali-kali (awas loh membacanya jangan dipenggal-penggal) yah hampir semua siswa berhamburan keluar kalau saja bungkusan yang ada di laci meja salah satu siswi tidak buru-buru dibawa keluar. Yah...kotak itulah yang semula dianggap sebagai bom, ternyata kado yang berisi jam wekker yang alarmnya masih aktif. Wah...dibongkar lagi deh kadonya, jadi gak surpraise dong. Huffff... untung saja bukan bom beneran ya!
Yah,....(loh kok malah ikut-ikutan bu Eva nih) meski tidak sedikit siswa yang usil, alhamdulillah mereka semua jadi orang. Meskipun MAM Pekajangan di cap sebagai sekolah buangan karena hampir tiap tahun pasti ada anak-anak nakal atau drop out dari sekolah lain yang ternyata masih bisa diterima di situ, tapi saya mengatakan MAM adalah sekolah yang paling peduli. Yah hanya MAM Pekajanganlah yang berani mengambil resiko itu, kalau anak yang drop out tidak diterima lagi di sekolah, akan jadi apa mereka coba?. Tapi nyatanya anak-anak pindahan dari sekolah lain justru merasakan betah sekolah di situ. Yah karena para guru di MAM Pekajangan tidak hanya mengajar dengan akal mereka, tetapi dengan hati mereka juga, dengan keikhlasan mereka, dengan ketulusan mereka, do’a-do’a yang tulus dari mereka, sehingga kami para muridnya yang bisa dikatakan durhaka selama menjadi murid bisa menjadi seperti ini.
Terima kasih Ayahanda/Ibunda guru MAM Pekajangan tahun 1999 s.d 2002. bu Nur Hajaroh guru bahasa Indonesia,Ekonomi, Akuntansi ku di kelas I. Pak Dawari, Guru Matematikaku saat kelas I yang rajin sholat dhuha, aku yakin dalam do’a mu kau pintakan supaya kami menjadi anak-anak yang pintar. Pak Budi, sebagai pengganti pak Sunaryo untuk sementara pada saat beliau melanjutkan studi. Pak Irfan Guru SKI pada saat kelas III. Pak Sumairi Sundrus guru Tata Negara yang disiplinnya melebihi tentara Belanda. Mohon berjuta maaf bila kelakuan kami sempat menoreh luka di hati, meski saya yakin pendendam bukan sifat engkau. Maafkan kami ayahanda dan ibunda guru. Mohon maaf bila ada bapak/ibu guru yang belum saya sebut.
Terima kasih Ayahanda/Ibunda guru MAM Pekajangan tahun 1999 s.d 2002. Baktimu terus ku kenang, ijinkan aku meneruskan cita-citamu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Restui aku agar istiqomah di jalan ini, ajari aku menjadi orang sepertimu yang senantiasa tulus, ikhlas, dan sabar dalam menghadapi murid seperti kami pada saat itu.
31 Januari 2010,23:16 tidak terasa sudah 8 tahun ternyata.

AKU DAN HANIFAH

Sabtu, 23 Januari 2010

MALAM PERTAMA

MALAM PERTAMA

Setahun sudah aku menunggunya. Lamaran tahun lalu belum sepenuhnya diterima. Saya bilang belum diterima karena memang tidak ada kata penolakan. Jadi selama setahun itu saya merasa sedang melewati sebuah titian yang tak berujung, menanti kepastian yang tak kunjung datang.
Sebetulnya aku tidak terlalu percaya diri untuk melamarnya. Apa sih yang diharapkan dari seorang pengangguran seperti saya. Yang meninggalkan amanah karena tuntutan kerja. Ya aku meninggalkan organisasi yang aku tekuni dari kelas 2 SMP. Waktu kelas 3 SMA aku terpilih sebagai ketua. Periodeku 2 tahun lamanya, tapi selepas lulus aku merantau ke Jakarta.
Di mana-mana orang yang tidak bekerja seperti tak ada nilainya. Bersyukurlah bagi siapapun yang sudah bekerja, sesusah apapun, sekecil apapun bayarannya, setidaknya masih lebih baik dari seorang tuna karya. Maka, meski tanpa pengalaman aku mengadu nasib ke Ibu Kota. Biarlah jadi tukang cuci piring, dari pada tukang cuci uang. Aku bayangkan hari-hari yang menyenangkan di sebuah restoran. Tapi bayangan tetap saja bayangan, tetap hitam tanpa wujud yang nyata. Di sanapun tetap saja menganggur. Bukan karena restorannya tidak rame, tapi lebih parah lagi. Restoran yang dijanjikan tidak benar- benar ada. Percuma kalau putus asa, apa saja kulakukan untuk bertahan hidup disana. Sudah 3 hari belum dapat kerja sementara saku dari rumah kian menipis. Singkatnya, aku dapat kerja di konveksi milik orang cina pada hari ke-4, tapi pagi harinya langsung dipecat. Semena-mena, menjadi raja di negara saya. Memangnya punya hak apa dia di Indonesia? Tapi ya sudahlah, saya malah bersyukur bias lepas dari sana. Buat apa di terus-teruskan kalau malah membuat sengsara, sehari saja tidak bisa apa-apa selain membersihkan benang dan melipat kaos lalu memasukkannya kedalam bungkus. Masih untung sehari semalam dibayar sepuluh ribu rupiah.
Hari berikutnya aku terdampar dalam dunia warna-warni, duniaku dulu. Memang tempatnya tidak terlalu bersih, tapi bagiku permasalahannya bukan pada tempat tapi suasana. Dinding yang penuh cat, gambar, tulisan, membuatku memutuskan untuk tinggal di situ. Ya di sebuah sablon kain. Tempat produksi kaos bermerk dan daster ekspor ke timur tengah. Dilihat dari ukurannya saja sudah kentara, bila dibentangkan setinggi saya 163 cm ditambah bentangan tanganku ke atas, yah hamper dua meteran. Tapi toh bayaranya tak seberapa. Per hari cuma dua belas ribu rupiah. Bisa di bayangkan nilai uang segitu di ibu kota. Maka demi menekan pengeluaran tiap hari makan 2 kali. Pagi dan malam hari. Sementara siangnya cukup sepotong roti. Tapi aku merasa senang, meskipun tiap malam mesti dilangkahi werog (tikus besar:sebesar kelinci kaleee). Warna-warni yang membuatku betah disitu. Meskipun sama-sama bekerja pada orang cina, tapi koh asiong lebih perhatian dibanding bos konfeksi yang dulu. Bekerja disini aku jadi lebih berotot, kalau produksi kaos mesti angkat-angkat triplek tiap hari. Kalau yang diproduksi daster, mesti loncat-loncat naik ke atas meja untuk jemur dasternya, yah jadi mirip-mirip tobey meguire gitu deh.. itu loh pemeran spiderman wkwkkkkkk :-D . Tapi saying….kerja disana hanya berlangsung lima bulan. Selepas pasar tanah abang kebakaran kami dipulangkan.
Di rumah kembali seperti dulu lagi. Nganggur, atau paling-paling ke sawah, sekedar panen kacang, ketimun, atau menyemprot tanaman itu. Kegiatan rutin yang harus ku jalani tiap harinya tanpa mendapat sepeserpun dari hasil panen. Tapi aku masih bias mencukupi kebutuhanku kalau ada pesanan dekorasi. Hasilnya pun bias kunikmati berhari-hari, bahkan untuk menambah modal hingga sedikit demi sedikit usaha dekorasiku semakin berkembang. Kesibukan masih terbagi antara sawah dan dekorasi. Sampai-sampai aku lupa pada lamaran tahun lalu.
Ya hari ini lamaranku dipertanyakan lagi. Masihkah aku punya niat untuk melamarnya? Aku mulai bimbang, jangan-jangan seperti tahun kemarin, tak ada keputusan, menggantung selama setahun. Haruskah aku melamarnya lagi? dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya kembali mengajukan lamaran, hasilnya……..DITERIMA.
Pada malam pertama lamaran saya diterima, kembali saya berpikir apakah saya sudah siap dipanggil bapak oleh anak-anakku nanti? Bukan anak dari istri, tapi dari orang tua wali. Ya karena saya melamar sebagai guru di SD Muhammadiyah Wonosari.

Lebih banyak cerita di jendelakamarkita.blogspot.com

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...