Kamis, 25 November 2010

KEPALA SEMUT VS EKOR GAJAH

AKU ADALAH KEPALA SEMUT YANG JADI EKOR CICAK
“Meskipun kecil, jadilah pelopor. Jangan asal besar tapi hanya pengekor”


Sore ini aku sedikit bisa santai dari biasanya, bahkan kegemaranku membaca kembali membara. Ternyata hobi membaca yang ada pada diriku tidak sepenuhya sirna. Buktinya aku sempat melahap buku setebal 128 halaman dalam waktu singkat.
Membaca sudah menjadi aktifitasku sejak dulu, buku menjadi teman setiaku, begitu juga diary kecil warna hijau yang telah aku sampuli ulang dengan warna orange dan kuning lemon bertuliskan puisi William Shakesphere dengan mesin ketik.
Kubaca lembar demi lembar, diaryku mengajak kembali pada masa 8 tahun silam. Aku pernah jatuh cinta juga rupanya, tidak pada satu gadis, bahkan empat sekaligus. Yah, hanya sebatas mengagumi, tanpa ambisi untuk memiliki. Lagipula tidak terlalu berlebihan, dengan demikian tak pernah mengganggu aktifitasku sebagai pelajar, malahan dengan adanya mereka, sedikit banyak memberii motivasi positif.
Ada sebuah tulisan yang memaksaku untuk memperhatikannya lebih dalam,

Liena,….aku pernah bilang ke kamu “Mending jadi kepala semut ketimbang jadi ekor gajah” disaat aku jadi kepala semut, aku malah pergi demi sedikit gula. Sekarang, aku tak lebih dari buntut cicak yang dipermainkan kucing liar. Bergerak-gerak tanpa arah dan akhirnya diam.
Liena,…..maafin aku ya, aku nggak bias pegang janjiku.
Temen-temen, maafin aku juga, aku di sini bukan untuk bersenang-senang. Hidup-hidupilah IRM kita!

Ya aku ingat, 17 Oktober 2001 aku terpilih sebagai ketua umum Pimpinan Ranting Ikatan Remaja Muhammadiyah Kutosari yang sebelumnya tidak dicalonkan. Gara-gara calon utama yang diproyeksikan jadi ketua mangkir, bukan dua calon yang lain yang harus dipilih. Justru saya yang dijadikan sebagai gantinya. Musyawirin ternyata memilihku. Jadilah saya Ketua Umum. Bermodal Rp 9.000,00 dari sisa kas periode sebelumnya saya bersama teman-teman yang sama-sama masih awam berusaha mengembangkan IRM. Suka dan duka selalu ada, dari masalah dana sampai personal antar anggota. Untuk mengadakan kegiatan pengkaderan saja harus door to door minta donatur dari warga, tidak jarang pula yang mengatakan IRM kerjanya cuma minta-minta. Tidak jarang pula antar anggota ada gap sementara program yang disusun bersama mesti ditunaikan, dari pengkaderan, lomba-lomba romadhon, bahkan tadabbur alam.
Belum genap setahun kepemimpinanku, 14 September 2002 aku merantau ke Jakarta. Banyak hal yang belum saya tunaikan dalam organisasiku. Ternyata begitu sulit bergerak tanpa dukungan dana dan lebih berat lagi kalau tak ada dukungan dari anggota. Saya benar-benar merasa tidak mampu memimpin IRM. Maka, ketika ada tawaran ke Jakarta, saya putuskan untuk mengambil kesempatan itu.
Tapi ternyata itu bukan sebuah solusi. Apakah semua pemimpin pernah mengalami hal seperti itu? Teringat olehku kisah nabi Yunus yang meninggalkan kaumnya karena tidak mau mengikuti dakwahnya sampai akhirnya ia diuji oleh Allah didalam perut ikan. Ia sadar bahwa meninggalkan kaumnya sama halnya lari dari tugasnya sebagai nabi. Hal ini pula yang kadang jadi alasan, nabi saja seperti itu, apalagi aku yang hanya manusia biasa bukankah itu hal yang lumrah. Tapi ketika saya piker kembali, tantangan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dialami para nabi dan rasul.
Minggu-minggu awal di Jakarta tak lepas dari air mata. Sesal tiada guna, pulang pun jauh dari rencana. Aku jalani apa yang sudah menjadi jalanku, meski di sini aku harus beberapakali terlempar, keluar masuk pintu, mencari kerja sebagai buruh. Menjadi buruh saja susah, apalagi jadi pemimpin. Ah, rasanya hampir menyerah, namun ketika ku ingat satu kata dalam surat Liena yang aku terima lewat mimpi membuatku kembali berdiri ; STANDING STILL katanya.
Liena,… aku masih berdiri sekarang. Dulu seorang buruh, sekarang seorang guru. Meskipun gajiku sebagai buruh dulu lebih besar dari gajiku sebagai guru SD swasta sekarang, tapi saya selalu yakin bahwa menjadi kepala semut lebih baik dari pada menjadi ekor gajah. 

01:29, 17 Dzulhijjah 1431

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...