Rabu, 30 September 2009

WADAS LINTANG

WADAS LINTANG
selepas dari wadas lintang
ada yang kandas ada yang hilang
entah, aku kalut aku bimbang
biarlah kubalut luka kenangan
yang tergores di jalanan
28 September 2009

AVE SERIES

MENULIS TAK SEKADAR KENYANG

Aq harus mulai
dr awal.
Membaca,
merenung,
menulis,
mengirim,tanpa
peduli akan
dimuat ato tdk.
Bgmn dg km? Brp
Target kirim
Bulan ini?

Aveus har
+6285742086881
Dikirim:
18-Agt-2009
21:48:14

Beberapa jenak aku baca pesan itu berulang-ulang , suddenly membawaku berenang kemasa silam. Ada nostalgi dibalik obsesi, ternyata aku telah lupa betapa dulu sangat ingin berproses dalam dunia tulis-menulis, bahkan aku memimpikan bergabung dalam sebuah komunitas.
Forum Lingkar Pena yang ada diangan saja, sebuah impian yang hampir-hampir tak dapat dijangkau dengan akal sehatku saat itu. Bagaimana tidak, tak ada satu celahpun yang bisa aku lewati untuk menuju kearah situ. Hingga satu waktu Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah Kabupaten Pekalongan mengadakan sebuah kegiatan bertajuk Pelatihan Jurnalistik. Dari situlah aku mulai mengenal beberapa nama, Aveus har : nama yang tak asing lagi bagiku, karena sebelumnya sudah aku baca karyanya di majalah Aneka Yess!, Khoirul Huda: guru SMP 1 Doro, pernah ketemu pada saat beliau memfoto kopi karya-karyanya, untuk persyaratan sertifikasi sepertinya, Ina Huda: juga lebih dulu aku kenal dari tabloid ngetrend, tabloid lokal Pekalongan untuk pelajar, satu lagi Ghufron Muda: meski namanya Ghufron Muda, tapi sudah tergolong tua rambutnyapun telah memutih beliau lebih suka menulis puisi ketimbang cerpen. Kebetulan pada saat itu aku berkesempatan menjadi moderatornya.
Pada kesempatan kedua aku mengikuti temu penulis Penulis Pekalongan. Dari situ juga aku mulai mengenal beberapa nama lagi, Fandi Hidayat, Siti Khuzaiyah, Widiasari, dan beberapa teman Ikatan Remaja Muhammadiyah yang jumlahnya sebagian dari seluruh peserta. Artinya gerakan iqro di IRM memang bias terlihat. Yah follow up dari kegiatan tersebut adalah membentuk sebuah komunitas yang diberi judul RUMAH IMAJI.
Kembali aku baca pesan itu berulang-ulang, kesempatanku untuk menjadi penulis semakin besar. Komunitas ada, bahkan kegiatan rumah imaji lebih sering gabung dengan FLP, kurang apa lagi coba?
Tapi, semakin aku dekat dengan tujuan semakin aku tak paham dengan kenyataan. Kenyataan yang mengatakan bahwa tintaku sudah beku. Aku tak lagi menulis seperti dulu, cerpen, puisi, maupun diary. Bagiku menulis tak sekadar kenyang, melainkan untuk menyampaikan gagasan yang tak pernah bias ku ungkapkan dengan lisan. Yah setidaknya tinta yang beku bias cair kembali, selagi tinta itu tidak benar-benar kering.
Jadi….kapan ya mengirim tulisan ke penerbit? Apa mesti menunggu matahari terbit? Tenggelam? Atau bahkan datang bulan? . hehe…yang terakhir jelas gak mungkin lah! Bagaimana kalau sekarang?

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...