Rabu, 17 Juni 2020

BONGGAN GELEM DADI UWONG


Sebetulnya saya bukanlah manusia. Saya seekor kera yang berevolusi menjadi manusia. Tidak usah mendebat teori Darwin, barang kali yang diteliti oleh Darwin memang keturunan saya, bukan keturunan Nabi Adam.

Ceritanya begini, di komunitas hewan ada Singa Sang Raja Hutan, Gajah Sang Patih, Kera sang Prajurit, dan hewan-hewan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Saya termasuk prajurit yang ngeyelan, setiap kebijakan Sang Raja Hutan yang tidak berperi kehewanan pasti saya lawan. Tentu tidak dengan tangan saya, dilihat secara kasat mata jelas saya kalah. Kengeyelan saya membuat Sang Raja Hutan gerah. Padahal saya menyuarakan keberatan hewan lain, mengapa hewan harus makan hewan. Karena itulah saya diusir dari dunia fauna dan sekarang menetap di dunia fana sebagai manusia.

Tidak mudah menjadi seorang manusia, saya harus belajar berjalan tegak. Sayapun harus merelakan ekor belakang saya, sementara ekor yang lain saya sisakan untuk menyambung generasi. Dalam hal makan, saya masih mengandalkan berburu dan meramu, tentu saya tidak berburu hewan lain karena saya masih berperi kehewanan. Saya tidak bisa lagi seenaknya mengambil makanan dari pohon lain yang tidak saya tanam. Saya mesti bersabar menanam, menuai, dan apabila lahan yang saya tanami berkurang kesuburannya saya mesti berpindah tempat. Hingga akhirnya saya terdampar pada zaman ini, yang untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak hanya mengandalkan makanan. Mesti punya pakaian dan tempat tinggal. Bahkan untuk mendapatkan semua itu bisa hanya dengan menukar lembaran kertas yang mereka sebut uang.

Uang, benda ajaib yang bisa mengubah apapun. Jelek jadi cantik, klasik jadi menarik, fakir jadi tajir, Bahkan kalau punya uang yang banyak, mudah saja menjadi seorang pemimpin selama menggunakan pemilihan langsung. Mengapa? Karena yang dibutuhkan pemilih adalah uangnya, bukan yang dipilihnya. Bisa saja kemiskinan memang diciptakan agar manusia mudah dikendalikan dengan uang. Maka jangan coba-coba yang miskin menulari yang kaya. Kalau yang kaya ketularan miskin siapa yang mau berderma?

Tidak mudah hidup sebagai seorang manusia, awalnya saya mengira bahwa manusia yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, baik fisik maupun psikis mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa ternyata sama saja. Ada yang memang bijaksana dan ada juga yang hanya bijak di sana, di sini tidak. Tapi begitulah Sang Pencipta, seadil-adilnya pemberi keadilan. Belum tentu yang adil di mata manusia ternyata tidak menurut Sang Pencipta.

Maka saya bertekad kembali menjadi kera, membawa ilmu manusia dan akan saya kembangkan di dunia satwa. Saya bercerita tentang suksesi kepemimpinan. Pemimpin tidak diwariskan tapi diciptakan. Biarkan mereka memilih pemimpinnya sendiri sesuai hati nurani. Aku kampayekan sekaligus mohon doa restu untuk mencalonkan diri, namun ternyata jawaban mereka mayoritas sama, berani bayar berapa?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...