Rabu, 13 September 2017

BAJA

“Sekuat – kuatnya baja, akhirnya patah juga”

Hari itu ada penjual arit dan alat pertukangan mampir di sekolahan. Saya tidak begitu tertarik karena biasanya barang yang di iderkan harganya lebih mahal dari harga pasar. Kalaupun lebih mahal sebetulnya sih tidak terlalu, karena kita dimudahkan tanpa meluangkan waktu dan biaya transportasi serta parkir ketika harus ke pasar. Namun saya berubah pikiran ketika pedagang menawarkan harga 25 ribu rupiah, menurut saya itu harga sudah murah dibanding harga pasaran yang 35ribu rupiah, belum lagi biaya lain-lain yang harus dikeluarkan apabila beli di pasar.

Saya memilih satu arit bagong untuk menebas semak-semak karena memang saya belum punya. Sedangkan arit biasa untuk potong rumput saya sudah punya. Saya pilih yang gagangnya kayu keras, karena yang di jual di pasar kelemahannya ada pada gagangnya, sering pecah. Akhirnya saya putuskan beli satu dengan gagang kayu jati. Saya coba menyayat ke punggung arit lain yang ada di sekolah, luar biasa, semuanya tergores namun arit yang ada di sekolah saya coba goreskan di arit yang saya beli tidak tergores sedikitpun. Saya bayar dengan harga pas tanpa menawar.

Sesampainya di rumah, saya coba babat semak di kebun. Ternyata tidak setajam yang saya perkirakan, maklum masih baru belum diasah ulang. Saya asah setajam-tajamnya saya coba untuk memotong kayu yang lebih keras, bahkan ujungnya sempat mengenai batu, namun tidak bengkok sedikitpun. Benar-benar kuat arit ini. Padahal arit yang saya punya ketika kena batu sedikit saja sudah bengkok. Lalu saya coba untuk memotong bambu. Dalam waktu singkat patah, bukan bambunya, tapi aritnya.

Ternyata sekuat-kuat baja akhirnya patah juga, justru ketika memotong bamboo, bukan batu yang sama-sama kerasnya.

Doro, 11 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...