Minggu, 01 Maret 2015

BUKAN IBU

“BUKAN IBU…”
Oleh: Abdul Sukur

Hari masih begitu pagi ketika aku pejamkan lagi mata ini, tak ada hal menarik yang bisa kuselidiki. Paling-paling sebentuk makhluk yang kusebut Rani. Ya, Beraniwati, kedengarannya aneh kan? Mungkin sang ibu memberikan nama itu agar Rani, berani menghadapi kenyataan bahwa seorang ayah yang mestinya bersama, harus musnah dihapus sejarah. Makanya ia dipanggil dengan sebutan Rani.
Dia temen sekelasku yang selalu mengganggu tidurku. Bukan apa-apa sih, gue cewek normal lagi yang mendambakan seribu pria mampir dihatiku yang seluas samudera, ceileee.
Gimana gak terganggu coba, hampir tiap malam dia selalu nginep di rumahku mengganggu jadwalku, tugas sekolah, makalah, laporan kegiatan dan seabreg tugas lain yang belum juga selesai karena kehadirannya. Rani gak banyak cerita kalau bukan aku yang mulai bertanya. Ia lebih suka nulis, entah itu puisi, cerpen, atau apapun yang bisa dijadikannya tempat curhat, makanya kadang komputerku yang dijadikan media.
Sepertinya ia tidak betah dirumah, meskipun aku tahu fasilitas yang tersedia dirumahnya lebih lengkap dari pada disini, di kamar ini. Kamar berukuran 3x3 beralas karpet plastic ber motif papan catur persis seperti lantai kamar kos-kosan. Computer Pentium 2, mousenya juga belum pakai mouse optic, itupun kalau masih waras, kadang-kadang udah ngetik banyak belum sempat nyimpen udah hang, tak ada springbed disitu, jangankan springbed ataupun ranjang, dipan saja nggak ada. Aku lebih senang tidur di kasur tanpa ranjang maupun dipan, meskipun kapuknya sudah mengeras karena jarang dijemur. Kata orang-orang sih kita aman dari godaan setan, teluh, santet, dan lain sebagainya, nyatanya aku sering bangun siang ninggalin solat subuh, apa itu bukan godaan setan namanya. Tapi bukan alasan itu mengapa aku gak pake ranjang, mungkin trauma kali ya soalnya aku pernah jatuh dari ranjang waktu kecil.
Bandingkan dengan kamar Rani, ukuran kamarnya aja seluas lapangan futsal, komputernyapun udah CENTRINO DUO, lantainya marmer motif Cleopatra warna hijau toska, springbednya dobel peer bisa buat latihan salto, penerangannya lampu kristal, mewah. Ingin rasanya bertukar raga dengannya.
Tuh kan kesiangan lagi……
***
Tanpa sengaja aku menjumpainya sedang nulis semacam puisi, kalau nggak salah demikian,

Bukan ibu…
Bila biarkan bayinya
Minum susu sapi
Karena susunya untuk suami
Atau kekasih barunya yang kesekian kali

Aku setengah terperanjat ketika membacanya, Rani yang pendiam sepertinya menyimpan dendam kepada ibunya, mungkinkah?. Hal itukah yang membuatnya tidak betah dirumah, atau sekedar tulisan sebagai bukti obsesinya menjadi penulis. Tak banyak yang bisa aku baca dari pikirannya, hehe jangankan baca pikiran orang lain, baca buku aja males. Mungkin itu suatu kelemahanku dan remaja seusiaku pada umumnya.
“Aku bosan!” tiba-tiba Rani membuka pembicaraan
“Dalam hal apa?” tanyaku
“Dalam hal apapun!” jawabnya
“Aku tak mengerti!”
“Kamu takkan pernah tahu , sebelum kamu merasakannya.”
Hanya itu, dialog pendek yang aku sendiri memang benar-benar tak mengerti “Kamu takkan pernah tahu , sebelum kamu merasakannya”, merasakan dalam hal apa, akupun tak tahu. Pikiranku mulai menerawang, mulai yakin bahwa Rani menghadapi masalah yang tidak kecil (kalau tidak mau dikatakan sebagai masalah besar)
***
Pada kesempatan berikutnya aku mengajak Rani ke pantai, sekedar refreshing atau apalah, computer aja butuh direfresh apalagi otak kita. Pantai Ujung Negara, entah mengapa dikasih nama demikian, padahal Ujung Negara Indonesia paling baratkan Sabang, Hihi jadi inget waktu SD dulu ,”Dari sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Indonesia tanah airku aku berjanji padamu, menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia” aku nyanyikan lagu itu sambil menuruni anak tangga menuju pantai, yah dengan hati yang bergemuruh tentunya. Mungkin orang lain melihatnya aneh kali ya, tapi aku tak peduli. Entahlah kenapa mesti Ujung Negara ya padahal tempatnya di Kabupaten Batang, sebelah timur Kota Pekalongan.
Sampai anak tangga terakhir aku meloncat girang persis anak TK saat pelajaran menggambar.
“Bagaimana, kamu senang?” tanyaku
“Yah, sedikit !” jawab Rani meninggikan alisnya
“Kok sedikit, kamu lihat sepasang kekasih disana? Mereka terlihat bahagia.”
“Sok tahu, bahagia tuh gak bisa diukur dengan indera”
“Kamu tuh yang sok tahu, memang siapa bilang bahagia gak bisa diukur dengan indera?”
“Aku!”
Kemudian kami berlari, diatas pasir yang terlihat putih karena serpihan kerang. Meski terasa perih di kaki tapi aku suka. Terik tak mampu menyentuh kulit karena semilir angin terasa lebih menarik, deburan ombak yang memecah karangpun terdengar bagai alunan musik, terlalu berlebihankah?. Ah….kubuang resahku pada kaki langit. Berharap semua penat tersapu gelombang lautan.


“Aku benci pada bunga dan kumbang yang bercumbu disiang hari” tiba-tiba ia berkata,
“Aku benci pada sesaji yang tersaji” imbuhnya
“Kenapa tidak disajikan kepadaku saja? ” haha…aku menambahkan
“Maunya”
“Kamu tahu kegelisahanku saat ini?” katanya sembari melepas lelah
“Hemm…hem!”jawabku sambil menggeleng
“Tentang ibu?” aku coba menerka
“Salah satunya, tapi aku lebih suka bila tidak membicarakan tentang keluarga di tempat seperti ini.”
“Lantas?”
“Lihatlah!” katanya sambil menunjuk sesaji yang berisi nasi kuning berbentuk kerucut, ayam panggang, kopi pahit, sebungkus rokok Praoe Lajar dan kembang tujuh rupa “Apa maksud semua itu?”
“Setahuku sih sedekah bumi!”
“Sedekah bumi maupun sedekah laut bagiku gak penting, bukankah itu sama halnya dengan memubadzirkan makanan?, padahal diluar sana banyak gelandangan yang kurang makan.” Bisa-bisanya Beraniwati membicarakan hal itu, bukankah ia sendiri sering memubadzirkan makanan dirumahnya. Udah dimasak susah-susah tapi tidak dimakan. Tapi lagi-lagi aku tak berani menyinggung masalah itu. Bukankah aku tak seberani Beraniwati?.
Pulang, membawa seguci kenangan yang meretak di jalanan. Tanpa pikir panjang ku hempaskan tubuh ini di kasur tanpa dipan, sementara Rani lebih memilih jarinya menari di tuts keyboard , menyelesaikan sesuatu. Mungkin puisinya yang belum jadi.
“Oh ya, bagaimana pendapatmu tentang ibu?” aku yang memulai
“Ibu, Ibuku sosok yang harusnya memberikan ASI terbaik malah memberi pengganti dengan air susu lain entah susu sapi atau susu kalengan. Ia lebih memilih menggadaikan kasih sayangnya pada orang lain, mencari pengganti sosok ayah yang belum sempat aku kenali, mengejar karir, mengejar rupiah, untuk masa depanku katanya, tapi ibu tak punya banyak waktu, bahkan nyaris tak ada waktu untukku. Itulah sebabnya aku lebih memilih nginap disini, paling tidak aku nggak ngerasa kesepian, pernahkah kamu merasa sendiri ? jujur aku iri kepadamu, kapanpun kamu membutuhkan kehadiran ibu, bahkan ayah, kakak, adik, mereka selalu ada di sisimu, sementara aku?”
Pertanyaan itu terus melesat tanpa henti, layaknya anak panah Kurawa menghujani tubuh Abimanyu dalam perang bharatayudha. Ada sosok lain dalam dirinya, yang jelas berbeda sewaktu di Ujung Negara.
Sejatining manungsa punika sawang-sinawang, tidak puas dengan diri sendiri dan membanding-bandingkan dengan orang lain. hampir-hampir aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Tapi sebisa mungkin aku mulai menata hatiku lagi setelah berserak saat mendengar ledakan kata-katanya. Tanpa dijawabpun pertanyaan itu juga tidak terlalu butuh jawaban. Hanya saja ada rasa tak enak bila tak menanggapi hal itu.

“Tapi fasilitas….”belum selesai aku bicara, tiba-tiba ia memotong
“Fasilitas bukanlah segala-galanya, kasih sayang ibu tak bisa dibeli dengan mata uang manapun.”
Sontak aku tersadar, meskipun tak sepenuhnya sadar. Yah, kegelisahan itu milikku juga. Ibu yang selama ini tak punya banyak arti bagiku tiba-tiba sangat bermakna, beliau sudah terbiasa ada, jadi tak ada istimewanya kasih sayang yang ibu berikan dengan tulus.
“Ibumu tidak salah, jangan lagi menaruh kebencian padanya ya?” petuahku dengan senyum.
“Syifa…!” Rani menyebut namaku, heran mungkin.

Spontan aku mengambil alih keyboard dan menyelesaikan puisi Rani

Tapi ibu,…
Tetaplah ibu
Setidaknya masih ada surga
Dibawah telapak kakinya


Ujung Pagi, 3 Shafar 1429 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...