Minggu, 02 Januari 2011

UNIVERSITAS TERBUKA

UNIVERSITAS TERBUKA
“Universitas terbesar di Indonesia tanpa menampakkan kebesaran kampusnya”

Tidak berlebihan bila saya mengatakan demikian. Bukankah Universitas Terbuka memang tersebar di mana-mana? Tapi tidak ada kampusnya. Selama ini mahasiswa UT menggunakan fasilitas SMA,SMP atau bahkan SD sebagai tempat perkuliahan, sehingga tidak ada uang gedung atau sumbangan pengembangan institusi, di UT hanya registrasi saja, itupun dapat beberapa modul yang tebal.

Ada yang mengatakan UT adalah Universitas Tuyul karena tidak jelas kuliahnya tiba-tiba bergelar sarjana. Bagiku Universitas Terbuka terbesar di Indonesia, bahkan se-Asia Tenggara. Bapak dan ibu guru maupun calon guru yang kuliah di UT, berbanggalah karena di sini kita benar-benar belajar secara mandiri, semua sudah difasilitasi, tinggal bagaimana kita menggunakan fasilitas yang tersedia misal modul, kaset, maupun CD. Adapun tutor maupun dosen bagiku hanya sebatas fasilitator saja. Kita juga bias mengikuti tutorial lewat radio maupun televisi. Hemm… benar-benar lengkap.

Hanya saja, kenapa ya masih banyak mahasiswa yang mencari fasilitas lain pada saat ujian. Apakah sebagai seorang guru/calon guru masih kurang yakin terhadap kemampuan diri. Menyuap pengawas agar membuatkan kunci jawaban, atau paling tidak agar pengawas tidak terlalu sangar sehingga mahasiswa bias buka-bukaan (buka modul maksudnya). Dan ini yang paling saya tidak suka.

Pernah ketika D2 saya dipilih sebagai ketua senat mahasiswa yang ternyata sebagai boneka penyelenggara saja, tak pernah diperhatikan. Bahkan ketika ada sedikit gerakan langsung dituduh makar. Apakah salah ketika saya mengusulkan minimalisasi biaya wisuda? Apakah salah hingga semua mahasiswa mentertawakanku. Ternyata aku salah, untuk apa aku membela para mahasiswa yang ternyata kaki tangan penyelenggara. Tapi entah, setelah peristiwa itu berlalu banyak mahasiswa yang mulai mendukungku, terjadilah gerakan besar. Aku bersama 5 orang teman terperangkap, disidang, dicacimaki, harga diriku diinjak-injak oleh KAS**** keparat. Tapi tak apa usahaku bersama teman-teman berhasil juga, meskipun biaya hanya turun 17% saja.

Sekarang aku kembali masuk UT, transfer program S1. Pengelolaan lebih baik dibanding ketika D2, mungkin karena berbeda penyelenggara. Hari pertama ujian sangat tenang, sehingga aku bias leluasa mengerjakan soal. Ku pikir universitas terbuka sudah menampakkan kemajuannya, saya bangga kuliah di UT. Tapi pada hari kedua, masya Allah lembar jawaban saya sampai melayang ke bangku sebelah, suasana kelas riuh, hampir-hampir tidak bisa konsentrasi. Ah… ternyata masih sama. Yah beginilah Universitas Terbuka, saking terbukanya sampai-sampai tak ada rahasia lagi, pengawas ujian tidak berfungsi. Kapan Negara kita mau berubah ya, kalau guru-guru kita seperti itu. Semoga tidak termasuk aku.

Aku memang tak bisa merubah masa lalu dan semua orang, tapi aku selalu mencoba untuk merubah diri sendiri dan mimpiku untuk masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAK CIK

“Semua gambar diawali dari sebuah titik” Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Gur...