KUTOSARI : KOTA SEJUTA BUNGA
“Siapapun ia, makamnya bertabur bunga. Bagi yang luar biasa, kotanya dihujani
bunga ”
Ki Nolo
merenung, berfikir bagaimana caranya membuat irigasi. Selalu dibawah pohon yang sama, pohon nangka yang sangat rindang
diantara pohon nangka lainnya. Seakan-akan pohon nangka sudah
menyatu dalam dirinya karena nangka menjadi makanan sehari-hari. Nangka muda
yang dicacak dan diurab menjadi megono bersama iwak wader kali dan sambal terasi.
Ki
Nolo masih merenung, di bawah pohon yang
sama, pohon nangka yang sangat rindang diantara pohon nangka lainnya. Menurutku,
banyak penyebutan yang salah tentang nangka. Orang biasa menyebut nangka adalah
kayunya, cecek buahnya yang sudah matang, gori buah yang masih muda, dan babal bunganya.
Bukankah lebih tepat kalau kayunya yang disebut gori, karena ditegor i(ditebangi). Cecek untuk nangka
muda karena dicacak-cacak untuk dibuat megono. Babal tetap babal karena bias membuat
bebelen (sembelit). Nangka lebih tepat
untuk buahnya yang sudah matang. Maka dalam perenungan itu pula, Ki Nolo
menamai tempat tersebut dengan Penangkan. Masyarakat di Penangkan mempunyai sifat
nangka, meskipun luarnya berduri namun dalamnya manis serta berpulut,
melambangkan betapa manis dan lekatnya persaudaraan diantara mereka.
Ki
Nolo terus merenung, di bawah pohon yang
sama, pohon nangka yang sangat rindang diantara pohon nangka lainnya. Terlintas
dalam fikirannya sebuah batu besar yang sekeras karang. Dengan batu tersebut ia
berniat membuat sebuah bendungan. Sifat karang yang keras, kuat, dijadikanlah pondasi
utama bendungan tersebut. Tempat diambilnya batu karang tersebut, dinamainya karang.
Masyarakat karang dikenal kuat dan keras.
Ki
Nolo mulai membendung kali Welo, tanpa desain, tanpa RAB. Karena bagi Ki Nolo,
yang terpenting adalah manfaatnya, bukan keindahan bentuknya. Dibuatlah bendungan
itu dengan asal-asalan dengan bentuk seburuk-buruknya, orang Jawa bilang singo-singoho olo-olonan, maka disebutlah
bendungan itu dengan nama Bendungan Singonolo.
Ternyata
usaha Ki Nolo membendung kali Welo berpengaruh pada kali Aji buatan Ki Aji. Dengan
geram Ki Aji mendatangi Ki Nolo yang sedang istirahat disela-sela pembangunan bendungan
tersebut. Tanpa sepengetahuan Ki Nolo, Ki Aji langsung menjatuhkan batu besar(Geblog)
ke kepala Ki Nolo. Maka daerah tersebut diberinama Geblog, dukuh terkecil dengan
keberanian tinggi. Dari dukuh ini pulalah trah Kepala Desa.
Peristiwa
penggeblogan itu mengakibatkan Ki Nolo tewas seketika, otaknya terbang sampai timur
,mencorot ngetan. Tempat jatuhnya otak
Ki Nolo diberinama Corotan, dukuh paling timur yang masyarakatnya mempunyai otak
original.
Darah
Ki Nolo mengalir, menyebar, gumelar ke
utara. Bekas aliran darah Ki Nolo dinamai Gumelar. Masyarakat yang bersatu dalam
perbedaan seperti halnya darah yang selalu merah meskipun terdapat 4 golongan darah
A, B, AB, dan O.
Ki
Nolo telah tiada, namun jasanya tetap dikenang. Ki Aji menyesal atas perbuatannya,
maka iapun menyerukan kepada para muridnya untuk memetik bunga di hutan bunga; Wonosari dan di taburkan di seluruh dukuh
yang berhubungan dengan Ki Nolo. Maka, lima dukuh :Penangkan, Karang, Geblog,
Corotan, dan Gumelar laksana hujan bunga. Harum, semerbak, dipenuhi jutaan bunga.
Roomalone, 01/08/2014;
00:57
NB; kalau
punya sumber yang lebih valid, share di sini ya! Jendelakamarkita.blogspot.com.
maturnuwun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar