Saya tidak suka menonton pagelaran wayang, tapi saya sangat tertarik dengan cerita dan segala filosofi di dalamnya. Maka ketika di Wisma Rarasati saya melihat sebuah buku tentang wayang yang ditulis oleh Ki Dalang Subur Widadi ayahanda Bu Welas Rarasati, langsung saya baca. Pada salah satu sequelnya ditulis tentang Dewi Kunti.
Dewi Kunti adalah ibu dari 3 orang pandawa, Yudhistira, Werkudara, dan Arjuna. Nakula dan Sadewa lahir dari rahim Dewi Madrim. Meskipun Nakula dan Sadewa bukan anak kandung Dewi Kunti, Dewi Kunti mengasihinya melebihi cinta kasihnya kepada putranya sendiri.
Suatu ketika, Nakula dan Sadewa kelaparan. Tidak ada makanan. Maka Dewi Kunti menyuruh kedua putranya Werkudara dan Arjuna mencari makanan untuk adiknya.
Arjuna kembali lebih dahulu membawa dua bungkus nasi rames dan menyerahkan kepada ibunya. Sebelum disuapkan kepada Nakula dan Sadewa, Dewi Kunti bertanya asal-usul nasi rames tersebut. Arjuna menceritakan bahwa nasi tersebut pemberian dari Kepala Desa Kedungwuluh karena merasa kasihan dengan Nakula dan Sadewa. Dewi Kunti menolaknya. Ia tidak mau memberi makanan kepada Nakula dan Sadewa atas dasar belas kasihan seseorang.
Werkudara datang terlambat karena harus membereskan dua raksasa di Cilacap. Membawa dua bungkus nasi padang untuk Nakula dan Sadewa. Tidak lupa Dewi Kunti menanyakan asal usul nasi tersebut. Werkudara menceritakan hal ihwal dua bungkus nasi padang yang ada pada genggamannya. Nasi tersebut adalah pemberian dari Bupati Cilacap sebagai hadiah karena Werkudara berhasil menumpas dua raksasa. Sang Bupati menawarkan putrinya yang bernama Teh Ikah sebagai hadiah, namun Werkudara menolak. Ia hanya minta dua bungkus nasi padang saja untuk makan siang kedua adiknya.
Dewi Kunti menerima nasi padang yang dibawa Werkudara, kemudian memberi nasihat kepada para putranya bahwa kita semua harus bekerja keras, jangan menggantungkan belas kasih orang lain dengan cara meminta-minta.
Belajar juga dari keluarga FKKS SD/MIM Jawa Tengah ketika Rapat Kerja di Wisma Rarasati, Banyumas. Kita membawa makanan khas daerahnya masing-masing, saling memberi. Bukan karena rasa kasihan, tapi memang karena rasa welas asih yang telah mendarah daging. Dudu sanak, dudu sedulur nanging bisa semanak semedulur.
Cerita ini sebagian fiktif belaka, kalau ada kesamaan nama dan tempat, anggap saja disengaja.