“Merokok bukan berarti pria sejati dan tidak merokok bukan berarti banci”
Aku lahir pada pertengahan tahun 80an. Ayahku perokok, begitu pula nenekku. Dua
kakakku juga merokok. Maka secara tidak langsung aku sudah terkader sejak dini
untuk menjadi seorang perokok. Apalagi ketika kelas 5 SD sudah mencoba menikmati
rokok. Tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, karena untuk membeli rokok aku
memakai uang infak ngaji.
Malam itu aku bolos ngaji bersama teman-teman, uang
infak dikumpulkan dan dibelikan sebungkus rokok. Harga rokok pada saat itu Rp
100,00 perbatang. Kulihat teman-teman bisa menikmatinya, rokok disedot dan
dihembuskan asapnya dari mulut. Kalau bisa mengeluarkan asap dari hidung sudah
termasuk prestasi bagi pemula. Apalagi asapnya sampai berbentuk donat, langsung
diangkat jadi master. Namun bagiku tidak. Jangankan menikmatinya, baru satu
sedotan saja membuatku terbatuk-batuk. Hingga akhirnya aku dikatakan banci.
Aku
tak mau lagi kalau diajak merokok, apalagi sampai bolos ngaji dan ngutil uang
infak. Biarlah dikatakan banci oleh teman-teman. Merokok atau tidak merokok
adalah hak seseorang. Namun sebisa mungkin hak yang diterima tidak mengganggu
hak orang lain, seenaknya saja mengatakan orang yang tidak merokok sebagai
banci. Aku tak mau menganiaya diri sendiri demi sebutan lelaki sejati. Orang
yang tidak merokok juga berhak menghirup udara bersih.
Lulus SMA aku merantau ke
Ibu Kota. Malam Minggu pertama, aku sempatkan ke pasar tumpah di bawah jembatan
layang. Sekadar cari angin atau cuci mata. Tapi perasaan mataku tidak tambah
bersih, karena di sepanjang jalan kulihat banyak banci yang memegang lintingan
berapi dengan mulut penuh asap. Sempat terpikir, ternyata banci merokok juga.
Tapi aku mencoba berbaik sangka, mungkin saja mereka memang lelaki sejati yang
kebetulan sedang menyamar jadi wanita.