“Semua gambar diawali dari sebuah titik”
Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Guru Matematikaku saat duduk di kelas 2B SMP Negeri 4 Kedungwuni (sekarang SMP 3). Mungkin bagi sebagian siswa Pak Cik termasuk salah satu guru yang ditakuti, meskipun aku tak yakin mereka benar-benar takut, mungkin lebih kepada mata pelajarannya saja yang tidak disukai. Suatu ketika, Bu Hesti Nurhayati Guru Bahasa Indonesia kami tidak masuk kelas, Pak Cik yang menggantikan. Kalau tidak salah materi saat itu membuat puisi. Saya berkesempatan membacanya pertama kali, karena memang nama berawalan A selalu nomor 1 di daftar hadir. Saya masih ingat betul puisi yang saya bacakan.
Menangis tiada artinya
Airmata tiada guna
Meskipun betapa sedihnya
Menghadapi kenyataan
Tuhan telah menentukan hidup ini
Tiada yang mampu menghindari
Biarlah semua terjadi
Mungkin harusnya begitu
Tak usah menyesali diri
Yang lalu biar berlalu
Takkan mungkin selamanya menderita
Esokpun pasti ada bahagia
Sesungguhnya jalan ini masih panjang
Dunia inipun masih luas terbentang
Hanya waktu yang belum sampai saatnya
Mungkin suatu hari nanti
Tercapai sudah segalanya
Pak Cik memuji saya habis-habisan, tapi aku tak terlalu bangga. Bahkan lebih tepatnya malu. Itu bukan puisi karya saya sendiri, tapi lirik lagu yang saya hafal dari soundtracknya Saint Seiya.
Mungkin dari situ saya mulai belajar puisi, memperbanyak kosa kata, padan kata, metafora, dan sebagainya.
Pagi ini saya bertemu beliau lagi, dalam acara lokakarya orientasi PGP di SMA 1 Kedungwuni. Pada sesi perkenalan, setiap peserta diminta menggambar sebuah benda dan menerangkan artinya. Pak Cik menggambar titik di sebuah kertas, beliau menjelaskan bahwa sebuah gambar diawali dari sebuah titik. Titik-titik membentuk garis, bisa lurus atau lengkung, kemudian membentuk bangun, tekstur, bahkan warnapun terbentuk dari gabungan berbagaimacam titik. Namun titik tetaplah titik, tidak akan berubah apapun bila kita berhenti, pada, satu, titik.
Mudisar_Ceria, 23 Maret 2024