Kemarin, Syadza Adiba Disyacitta anakku plesir ke pantai bersama bundanya dan ibu-ibu RT 4.
tak ada rahasia di dalamnya
Kemarin, Syadza Adiba Disyacitta anakku plesir ke pantai bersama bundanya dan ibu-ibu RT 4.
“Daun sirih yang tulang daunnya bertemu dalam satu ujung dapat mengantarkan kita ke dalam mimpi seseorang, berani coba?”
Pada tahun 1990an televisi adalah barang mewah. Di desa hanya beberapa orang saja yang memilikinya. Namun ketiadaan itu justru mempererat persaudaraan. Para tetangga bisa berkumpul tiap malam dalam satu tempat, meskipun pemilik televisi juga ada yang tidak berkenan; kalau tidak mau dikatakan pelit. Bukan apa-apa sih, kadang penonton juga tidak tahu diri membawa makanan, minuman, bahkan merokok yang akhirnya mengotori rumah pemilik TV.
Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, satu saudara tiri dan dua saudara kandung. Ayahku seorang pedagang, pedagang apa saja terutama hasil perkebunan. Bila musim durian tiba, rumahku penuh dengan buah durian, biasanya teman-temanku ikut melangsir dari rumah sampai ke angkutan. Setelah selesai, ayahku membelah beberapa durian untuk kami makan. Waktu itu harga durian Rp 200,00 – Rp 500,00.
Sebagai anak bungsu, hampir semua permintaanku dipenuhi, kecuali mainan. Maka suatu kali aku minta TV, dibelikan aku TV Sharp 14` hitam putih kalau tidak salah harganya Rp 300.000,00 pada waktu itu.
Televisi membuat aku menjadi anak rumahan. Bagaimana tidak, tanpa keluar rumahpun teman-teman sering main kerumahku. Apalagi kalau malam Jum’at . Acara favorit kami Combat dan film horor Friday 13th. Combat dimulai lebih awal, selisih beberapa jam sebelum Friday 13th.
Seberapa menyenangkannya dirumah, anak-anak tetap saja ingin bebas bermain di luar. Biasanya selisih waktu tersebut kami gunakan untuk bermain petak umpet atau kucing-kucingan. Entah karena kelelahan atau ketakutan, sebelum film horor usai kami terlelap.
Hari Kamis adalah hari yang paling menyenangkan bagi kami. Pelajaran di sekolah hanya 2 : Orkes dan Kertangkes. Sekolah kami sekolah pinggiran yang gurunya tidak genap enam. Maka setiap hari Kamis pelajaran Orkes untuk siswa kelas 1 – 6 bermain bersama. Biasanya bermain bola kasti, atau dibagi dua yang putra sepak bola, yang putri bola kasti atau lompat tali.
Usai pelajaran kami diperbolehkan main di sungai yang sangat jernih dengan syarat pulang membawa batu. Kata Pak Guru batu itu dikumpulkan untuk membuat taman sekolah. Diantara kami tidak ada yang terpaksa melakukannya. Bagi kami mendapat perintah guru adalah suatu kehormatan. Pulang dari sungai pelajaran kertangkes. Biasanya menggambar bebas dan yang sudah selesai boleh pulang lebih dulu.
Entah ide dari siapa, siang itu mereka berencana menginap di rumahku untuk mencoba suatu rahasia. Kata salah satu temanku, daun sirih yang tulang daunnya bertemu dalam satu ujung bisa mengabulkan permintaan kami lewat mimpi. Maka kamipun berburu daun sirih tersebut. Mereka menyebutnya sirih kembar.
Setelah kami menemukan daun sirih kembar, kemudian kami menuliskan nama sendiri dan nama seseorang yang ingin kita temui lewat mimpi kemudian ditaruh di bawah bantal. Ah ternyata dulu aku pernah tertarik kepada seseorang. Seperti apa ya dia sekarang?. Hampir-hampir aku tak ingat lagi wajahnya. Maklum dia bukan orang sini, lagi pula hanya 1 tahun ia sekolah disini. Yang ku ingat pasti dari dia, putih, manis, sesuai dengan namanya, serta hidungnya keringetan, sesuatu yang unik bagiku masa itu. Hmmm....Kau tau apa yang terjadi setelah itu?
Aku pikir aku bakal mimpi bertemu dengannya persis di pilem-pilem India Bazigar atau Afsana Pyar ka, nyanyi-nyanyi, nari-nari, guling-guling di rerumputan. Ternyata,... kau tau tidak apa yang akan terjadi setelah itu? Kalau kau tahu kasih tahu aku ya?
gambar dari tokopedia
Dulu, dulu sekali saya pernah mendapatkan gelar Mc. Gyver Junior. Seingatku waktu kelas 4 atau kelas 5 MI. Sore itu kami mau bermain bola, namun bola kami pecah. Kami ingat bahwa sekolah punya bola baru yang tidak boleh kami pinjam. Maka kamipun berencana meminjam bola tersebut tanpa ijin. Caranya dengan membuka jendela kantor Kepala Sekolah. Memanfaatkan sebilah bambu pagar dan plastik es yang ditarik sehingga menjadi seutas tali untuk dijadikan simpul, saya mulai beraksi. Tubuh slimku diangkat, dan tangan kecilku masuk ventilasi jendela. Simpul plastik saya arahkan ke grendel jendela, sekali tarik jendelapun terbuka. Kami masuk mengambil bola yang dimaksud.
Waktu itu sepak bola memang olah raga favorit kami, yah meskipun setiap kali main saya selalu kebagian jadi keeper. Maklum, saya termasuk tipe lelaki yang setia. Gawang saja dijaga, apalagi anak mertua. Sementara teman lain lebih memilih jadi penyerang, yang suka menembak, tak peduli diterima atau ditolak.
Setelah selesai bermain bola, kami kembalikan ke tempat semula. Melihat stempel di meja, teman-temanpun mulai bermain dengan stempel, lengan kiri kanan dicap dengan stempel gudep 71/72. Esoknya kami ketahuan, gara-gara dengan bangganya pamer tato tunas kelapa. Kami disidang, dan diganjar hukuman tawaf keliling sekolah entah berapa kali banyaknya.
Kemarin, saya berangkat lebih pagi dari biasanya, terlihat Pak Mul petugas kebersihan di tempat saya bekerja sedang melakukan sesuatu di depan pintu kelas 2. Ternyata pintunya tidak bisa dibuka dari luar karena slot pintunya rusak. Sementara pintu tembus ke kelas sebelah tertutup rak buku. Sayapun mencoba kemampuan lama saya. Bermodal rantai dan kabel bekas yang saya temukan di gudang, sayapun melakukan cara yang sama seperti saat meminjam bola tanpa ijin.
Tenang saja, kali ini kepala sekolah tidak akan menyidang dirinya sendiri. Pintupun bisa dibuka dari dalam, tepat ketika satu dua anak mulai berdatangan.
Gambar diambil dari https://encrypted-tbn2.gstatic.com/
“Semua gambar diawali dari sebuah titik”
Pak Cik aku memanggilnya, bukan sebutan paman dalam Bahasa Melayu. Beliau adalah Pak Mucikno, Guru Matematikaku saat duduk di kelas 2B SMP Negeri 4 Kedungwuni (sekarang SMP 3). Mungkin bagi sebagian siswa Pak Cik termasuk salah satu guru yang ditakuti, meskipun aku tak yakin mereka benar-benar takut, mungkin lebih kepada mata pelajarannya saja yang tidak disukai. Suatu ketika, Bu Hesti Nurhayati Guru Bahasa Indonesia kami tidak masuk kelas, Pak Cik yang menggantikan. Kalau tidak salah materi saat itu membuat puisi. Saya berkesempatan membacanya pertama kali, karena memang nama berawalan A selalu nomor 1 di daftar hadir. Saya masih ingat betul puisi yang saya bacakan.
Menangis tiada artinya
Airmata tiada guna
Meskipun betapa sedihnya
Menghadapi kenyataan
Tuhan telah menentukan hidup ini
Tiada yang mampu menghindari
Biarlah semua terjadi
Mungkin harusnya begitu
Tak usah menyesali diri
Yang lalu biar berlalu
Takkan mungkin selamanya menderita
Esokpun pasti ada bahagia
Sesungguhnya jalan ini masih panjang
Dunia inipun masih luas terbentang
Hanya waktu yang belum sampai saatnya
Mungkin suatu hari nanti
Tercapai sudah segalanya
Pak Cik memuji saya habis-habisan, tapi aku tak terlalu bangga. Bahkan lebih tepatnya malu. Itu bukan puisi karya saya sendiri, tapi lirik lagu yang saya hafal dari soundtracknya Saint Seiya.
Mungkin dari situ saya mulai belajar puisi, memperbanyak kosa kata, padan kata, metafora, dan sebagainya.
Pagi ini saya bertemu beliau lagi, dalam acara lokakarya orientasi PGP di SMA 1 Kedungwuni. Pada sesi perkenalan, setiap peserta diminta menggambar sebuah benda dan menerangkan artinya. Pak Cik menggambar titik di sebuah kertas, beliau menjelaskan bahwa sebuah gambar diawali dari sebuah titik. Titik-titik membentuk garis, bisa lurus atau lengkung, kemudian membentuk bangun, tekstur, bahkan warnapun terbentuk dari gabungan berbagaimacam titik. Namun titik tetaplah titik, tidak akan berubah apapun bila kita berhenti, pada, satu, titik.
Mudisar_Ceria, 23 Maret 2024
Kemarin, Syadza Adiba Disyacitta anakku plesir ke pantai bersama bundanya dan ibu-ibu RT 4. Sampai rumah selepas Maghrib. Dia bertanya ...